Mohon tunggu...
Diana NovitaPermataSari
Diana NovitaPermataSari Mohon Tunggu... Guru - Guru/Pendidik

Menjadi pendidik di salah satu sekolah menengah kejuruan Negeri. Hobi utama membaca, sekarang sedang giat berlatih menulis, dan sangat suka jalan-jalan, kadang kulineran, dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Serial Geng Kopi Dalgona

28 Juni 2023   12:00 Diperbarui: 28 Juni 2023   12:06 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

#2 Pinjam Uang untuk Goreng Pisang

Rabu, pagi hari, sekitar jam 07.30, aku masuk ke ruang guru. Liyana sudah duduk di kursinya sambil haha-hihi menatap laptop di depannya, apalagi kalau bukan karena nonton serial reality show Running Man. Halima juga sudah duduk dengan tegak di kursinya, tetapi tangan dan matanya fokus ke gawai, yang berada hampir tepat di depan mukanya.

Aku? Aku yang baru masuk ke ruangan, dianggap tidak penting oleh mereka. Mungkin dianggap hantu gentayangan yang baru masuk ke ruangan, dan tidak penting untuk dipedulikan.

Aku duduk dan ikut-ikutan membuka gawaiku. Tapi karena aku tidak betah berlama-lama membuka gawai, aku ganti dengan membuka buku bacaan. Apapun buku bacaan yang ada di depanku.

Hening. Hanya haha-hihi suara tawa Liyana yang sekali-sekali terdengar.

Namun tak lama kemudian Halima berkata, "Eh, tadi aku dipesani sama si musafir, Tika, katanya di ruang sebelah ada pisang banyak. Kalau kita mau, tinggal ambil aja katanya!" Kata Halima.

"Oh ya, aku juga ditawari kemarin. Katanya ambil aja, nggak apa-apa, itu bos berdua juga sudah ambil banyak, katanya. Tapi karena aku kurang tertarik, aku juga cuma ambil secukupnya, hanya untuk menghormati si Tika saja." Jawabku.

Halima tersenyum, lalu kembali melihat ke gawainya.

Sedangkan Liyana, Liyana yang masih kurang fokus, masih haha-hihi ke laptopnya, dan akhirnya hanya bertanya, "Apa sih?" 

"Itu ditawari pisang, di ruang sebelah." Jawabku.

"Oh.." jawab Liyana, lalu kembali fokus ke laptopnya.

Laptop akhirnya ditutup oleh Liyana, "Pisang acara apa sih? Praktik?" Tanyanya.

"Nggak, buat bisnis sekolah katanya." Jawabku.

"Oh, wow, akhirnya kita punya bisnis. Siapa yang akan menjalankan itu? Aku sih tidak mau, dapat capainya iya, dapat uangnya kagak!" Kata Liyana.

"Beneran berani menolak kamu, kalau diperintah sama sekolah?" Tantangku.

"Ya nggak juga sih..!" Kata Liyana sambil mengedikkan bahunya. "Oh.. pisang buat keripik pakai mesin baru itu ya? Heran deh, kenapa harus beli mesin, kalau gorengnya cuma pisang. Pisang mah, digoreng pakai wajan biasa juga bisa, tidak usah pakai mesin. Toh, di pasar banyak ibu-ibu atau UMKM yang sudah jualan keripik pisang, dan mereka gorengnya pakai wajan biasa, tidak perlu pakai mesin." Kata Liyana lagi.

Halima melihat ke arah Liyana, lalu melihat ke arahku, lalu tersenyum.

"Ah, padahal ada yang lebih parah dari itu." Kataku sambil tersenyum, sambil membereskan buku-buku yang ada di depanku.

"Iyap, betul!" Kata Halima, menimpali.

Liyana yang sepertinya sedang tidak fokus, tidak memperhatikan kata-kata kami berdua. Dia hanya fokus makan kue jalabianya, makanan dari ketan yang dibalut gula. "Jalabia ini gais, dimakan!" Katanya sambil mempersilakan kami makan, sambil dia makan sendiri. 

"Ayo coba kita lihat pisangnya!" Ajak Liyana kemudian, setelah selesai makan jalabianya.

Liyana lalu bangkit, diikuti aku dan Halima.

"Oh, ini pisangnya? Banyak banget gitu? Emang tidak busuk ini? Siapa yang akan mengerjakan? Siswa kan lagi COVID-an, lagi pada belajar dari rumah?" Omel Liyana lagi. 

"Itu beli minyak goreng juga banyak banget?" Tambah Liyana lagi.

Aku dan Halima diam, hanya kadang menanggapi kata-kata Liyana dengan tawa cibiran.

Kami sendiri tidak tertarik untuk mengambil pisang tersebut, jadi setelah melihat pisang-pisang tersebut sejenak, yang memang jumlahnya cukup banyak, kami, meski tidak terucap, kompak kembali ke ruang guru.

"Cair lagi ya uang praktik? Kok kita tidak diberi tahu. Aku kemarin sudah pakai uang pribadi lho untuk praktik, Rp 300.000,-." Kata Liyana, setelah masuk ke ruang guru, sambil menatap aku dan Halima, posisinya masih berdiri.

"Katanya mereka pinjam uang sekolah." Kata Halima tertawa, sambil kembali duduk di kursinya.

Liyana menatap Halima tidak mengerti. 

"Yup, betul, kata Tika, mereka pinjam uang sekolah sebesar 10 juta untuk modal usaha." Kataku yang juga masih berdiri di depan meja kerjaku, menambahi informasi yang disampaikan oleh Halima.

"Pinjam uang sekolah untuk modal usaha? Kok kita tidak diberi tahu? Kita kan tim?"

"Nah itu dia.." kata Halima, masih sambil tertawa. Mungkin tawa tidak berdaya, mungkin tawa marah, dan mungkin tawa sedih, sama seperti yang kurasakan.

"Masalahnya mereka meminjam atas nama tim, kita tidak diberi tahu. Pihak sekolah bisa saja mengiranya kita semua tahu, dan kita juga akan dapat bagian uang tersebut." Kataku lagi, masih berdiri, masih tertawa, sama seperti tawanya Halima. "Makanya tadi kubilang, ada yang lebih parah dari itu!" Kataku lagi menambahi.

"..nanti kita disuruh ikut bayar cicilannya, lagi? Ah, tidak mau! Nanti kalau aku disuruh ikut bayar cicilannya aku tidak akan mau! Mereka pinjam saja, kita tidak diberitahu!" Kata Liyana sambil tersungut, lalu duduk di kursinya.

Aku yang masih berdiri di depan meja, lagi-lagi hanya tertawa, tawa tanpa mengeluarkan suara. Sama dengan Halima.

"Ya sudah, nanti kalau ada tagihan, bilang saja, kita tidak ikut-ikutan, dan tidak tahu-menahu mengenai hal itu." Kata Halima.

Hening. Liyana tidak mau menanggapi, tapi juga belum bisa menghilangkan ekspresi marah di wajahnya.

Hening berlanjut.

"Lagipula itu katanya sekali mengoperasikan mesin itu minimal harus berapa liter minyak? Sampai 50 Liter ya? Beli minyak langsung sebanyak itu. Beli pisang langsung sebanyak itu, apa sudah tidak salah strategi itu?

Malah tahu ilmu bisnisnya ibu-ibu di pasar, belanja sedikit dulu, uji coba pasar dulu, baru dikembangkan secara bertahap.

Lagipula goreng pisang harus pakai mesin seperti itu, apa tidak mahal nanti jatuhnya? Sedangkan keripik pisang di pasar saja, setengah kilogram dapat Rp 10.000,- atau Rp 12.000,-. Lah ini, digoreng pakai mesin seperti itu, pasti mahal lah jatuhnya, keripik pisangnya! Udah gitu, jenis pisangnya kelihatannya jenis pisang mahal lagi." Kata Liyana lagi.

"Iya, sebenarnya kemarin Tika juga sudah mengingatkan mereka berdua, apa sebaiknya tidak beli pisang yang murahan dulu saja? Satu untuk menekan harga jual, dua untuk uji coba. Maksud Tika, biar dapat banyak manfaat juga. Satu sisi, petani yang pisangnya tidak begitu laku di pasaran, bisa dibuat keripik pakai mesin. Kedua, kalau memang keripiknya jadi, dan bisa dijual, kan kita dapat harga bahan baku yang murah. Intinya, kalau berhasil, petani untung, kita juga untung. Eh, malah mereka tidak mau. Ya Tika juga berpikir, ngapain mengolah pisang yang sudah laku dan harganya sudah mahal? Tapi ya sudah, akhirnya Tika pilih diam." Jawabku, menirukan keterangan Tika kemarin.

Halima dan Liyana masih diam.

"Ya, kalau aku sih, asal mereka tidak membawa-bawa nama kita selama pinjam kemarin, atau nanti ketika mengembalikan uang, itu sudah cukup. Masalah rugi atau tidaknya itu urusan mereka. Ya gimana lagi, maksudku, kita aja tidak diajak diskusi!" Kataku melanjutkan.

"Iya juga sih, betul!" Kata Halima.

"Ah, nggak tahu lah, aku mau ngajar ini. Tambah lama tambah berantakan, tim ini!" Kata Liyana sambil membuka kembali laptopnya, menyiapkan earphone-nya, untuk mulai mengajar daring.

"Sabar-sabar! Nanti jangan marah sama muridnya lho ya!" Celetuk Halima, sambil tertawa.

"Iya, ngopi, ngopi dulu, bikin es kopi dulu biar adem!" Tambahku.

Liyana diam, masih menekuk wajahnya. Terlihat kalau dia masih  marah, tetapi juga sangat berusaha untuk menahan amarahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun