Kaitan Flexing dan Image Crafting terhadap Fenomena Feminisme Neoliberal
Catherine Rottenberg pada tahun 2018 membahas tentang fenomena feminisme neoliberal dan bagaimana citra perempuan di media sosial dapat menjadi bagian dari fenomena tersebut.
Dalam bukunya, Rottenberg (2018) membahas bagaimana dalam era neoliberalisme, feminisme cenderung dipahami sebagai serangkaian proyek individualis dan personalis yang bertujuan untuk memperbaiki citra diri individu. Citra perempuan di media sosial, menurutnya, seringkali dipakai untuk memperkuat posisi sosial dan memperbaiki citra diri individu, sekaligus memperkuat logika pasar dan konsumerisme.
Rottenberg juga membahas bagaimana dalam konteks feminisme neoliberal, perempuan seringkali dihadapkan pada tuntutan untuk menjadi "superwoman" yang sukses di semua bidang, termasuk dalam karier, keluarga, dan kehidupan sosial. Citra perempuan yang sukses dan memikat di media sosial dapat menjadi bagian dari tuntutan ini, dan dapat memicu perasaan tidak cukup atau tidak memadai pada perempuan yang merasa tidak mampu mencapai standar yang dipromosikan.
Beberapa faktor yang melatarbelakangi munculnya feminisme neoliberal, yaitu:
- Dampak globalisasi dan liberalisasi ekonomi: Neoliberalisme adalah sebuah ideologi ekonomi yang memandang bahwa pasar bebas dan pengusaha individu adalah kunci utama dalam mencapai kemakmuran ekonomi. Hal ini menjadi sangat penting pada era globalisasi dan liberalisasi ekonomi yang mengubah tatanan sosial-politik dan ekonomi dunia. Hal ini menciptakan tuntutan pada individu untuk mampu beradaptasi dengan perubahan global dan bersaing di pasar internasional, termasuk dalam bidang pekerjaan dan karier.
- Peningkatan partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja: Di beberapa negara, terjadi peningkatan partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja, sehingga feminisme menjadi semakin relevan. Namun, peningkatan partisipasi ini juga menimbulkan dilema bagi perempuan yang harus mengatasi tuntutan untuk berkarier sekaligus memenuhi tuntutan keluarga dan tanggung jawab rumah tangga.
- Pergeseran budaya dan nilai-nilai individualisme: Neoliberalisme juga mengubah budaya dan nilai-nilai masyarakat yang semakin menekankan pada individualisme dan swadaya. Hal ini menciptakan tuntutan pada individu untuk menjadi sukses secara mandiri dan memperbaiki citra diri mereka, termasuk dalam bidang kecantikan dan gaya hidup. Tuntutan ini juga menciptakan tekanan sosial pada perempuan untuk menunjukkan prestasi dan kemampuan mereka secara individu.
Fenomena Flexing di Indonesia
Fenomena flexing di Indonesia saat ini dapat dilihat dari maraknya konten yang memperlihatkan gaya hidup mewah, kesuksesan finansial, dan kesejahteraan material di media sosial. Hal ini dapat dilihat dari popularitas influencer dan selebritas di media sosial, yang memperlihatkan gaya hidup mewah dan barang-barang branded, seperti mobil, tas, dan pakaian mahal.
Fenomena ini juga terlihat dari tren konten seperti vlog makan di restoran mewah, unboxing produk-produk mahal, hingga konten perjalanan liburan ke tempat-tempat eksotis dan mewah. Beberapa konten ini sering kali dilengkapi dengan tagar-tagar seperti #blessed, #luxurylifestyle, #richkidsofinstagram, dan sejenisnya.
Fenomena flexing di Indonesia ini diduga disebabkan oleh beberapa faktor, seperti:
- Dampak sosial media: Media sosial menjadi media yang sangat populer dalam kehidupan sehari-hari dan memudahkan seseorang untuk membagikan konten yang menampilkan gaya hidup mewah dan kesejahteraan material. Terlebih lagi, media sosial juga memberikan dukungan pada perilaku flexing dengan memberikan like dan komentar positif pada konten yang menampilkan gaya hidup mewah.
- Budaya konsumerisme: Budaya konsumerisme semakin mengakar di masyarakat Indonesia, terutama di kalangan urban yang memiliki daya beli yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya konsumsi produk-produk mahal dan berkualitas, seperti barang-barang branded dan kuliner di restoran mewah.
- Ambisi untuk memperlihatkan prestasi: Ada ambisi untuk memperlihatkan prestasi dan kesuksesan pada orang lain, terutama di media sosial. Hal ini dapat terlihat dari kecenderungan untuk membagikan kesuksesan finansial, gaya hidup, dan kesejahteraan material di media sosial sebagai bentuk prestasi dan pencapaian.
Namun, fenomena flexing juga memiliki dampak negatif, seperti meningkatnya tekanan sosial pada individu untuk menunjukkan keberhasilan dan kesuksesan secara material, sekaligus mengabaikan pentingnya nilai-nilai non-material, seperti kebahagiaan, kepuasan, dan keseimbangan hidup. Fenomena ini juga dapat menciptakan kesenjangan sosial dan menguatkan kultur individualisme, di mana individu lebih fokus pada pencapaian individu dan status sosial, ketimbang memperhatikan kepentingan bersama. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran untuk menghindari perilaku flexing yang berlebihan dan meningkatkan penghargaan terhadap nilai-nilai non-material dalam kehidupan.
Fenomena Image Crafting di Indonesia