Sementara itu, flexing dapat diartikan sebagai tindakan seseorang untuk memperlihatkan kekayaan, keberhasilan, atau status sosialnya di hadapan publik. Flexing sering kali dilakukan dengan cara memposting foto atau video yang menampilkan barang-barang mahal, tempat-tempat eksklusif, atau prestasi yang luar biasa. Tujuannya adalah untuk membuat orang lain terkesan dan memberikan kesan bahwa dirinya lebih sukses atau lebih berharga daripada orang lain.
Meskipun keduanya berbeda, keduanya seringkali saling terkait. Misalnya, seseorang dapat menggunakan image crafting untuk membangun citra sebagai orang yang sukses dan kaya, atau sebaliknya, seseorang dapat melakukan flexing untuk memperkuat citra positif yang sudah dibangun sebelumnya melalui image crafting.
Namun, keduanya juga memiliki potensi untuk membawa dampak negatif jika dilakukan secara berlebihan atau tidak otentik. Misalnya, jika seseorang terlalu sering melakukan flexing dengan memamerkan kekayaan atau status sosialnya, orang lain mungkin akan melihatnya sebagai sombong dan tidak tulus. Di sisi lain, jika seseorang terlalu sering melakukan image crafting dengan cara mengedit foto atau video, orang lain mungkin akan meragukan keaslian citra yang dibangun.
Oleh karena itu, penting bagi pengguna media sosial untuk memahami perbedaan antara image crafting dan flexing, dan menggunakan keduanya dengan bijak. Lebih baik fokus pada membangun citra yang autentik dan positif, yang didukung oleh prestasi atau kualitas pribadi yang sebenarnya, daripada terlalu mengandalkan image crafting atau flexing yang terkesan tidak tulus atau tidak otentik.
Selain itu, sebagai pengguna media sosial yang bertanggung jawab, kita juga harus ingat bahwa apa yang kita posting di media sosial dapat mempengaruhi citra kita di mata orang lain, baik secara positif maupun negatif. Oleh karena itu, sebelum memposting konten apa pun, penting untuk mempertimbangkan efeknya terhadap citra kita dan orang lain.
Dalam konteks bisnis atau branding, image crafting dan flexing juga dapat menjadi strategi pemasaran yang efektif. Namun, perlu diingat bahwa citra yang dibangun harus sesuai dengan nilai atau pesan yang ingin disampaikan. Kredibilitas dan kepercayaan pelanggan atau pengikut dapat rusak jika citra yang dibangun tidak sesuai dengan kenyataan atau tidak konsisten dengan nilai atau pesan yang ingin disampaikan.
Di sisi lain, sebagai konsumen, kita juga harus bijak dalam menilai citra yang ditampilkan oleh seseorang atau merek di media sosial. Jangan mudah terpancing oleh flexing yang terkesan berlebihan atau image crafting yang tidak autentik. Sebagai pengguna media sosial yang cerdas, kita harus mampu membedakan antara citra yang autentik dan positif dengan citra yang dibangun secara berlebihan atau tidak otentik.
Berdasarkan beberapa ahli, image crafting dan flexing adalah fenomena yang cukup umum di media sosial. Menurut Catherine Rottenberg, seorang profesor di Universitas Nottingham, image crafting dapat dianggap sebagai "tindakan sosial yang dirancang untuk meningkatkan citra diri seseorang dalam hubungannya dengan orang lain."
Sementara itu, flexing dapat dilihat sebagai bentuk konsumsi simbolis, di mana seseorang menggunakan barang-barang atau tanda-tanda tertentu untuk memperkuat status sosialnya dalam masyarakat. Menurut Tyler F. Stillman, seorang profesor di Universitas Southern Utah, flexing dapat membantu seseorang memperoleh pengakuan dan mengurangi ketidakpastian dalam hubungannya dengan orang lain.
Meskipun kedua konsep ini dapat memberikan manfaat dalam konteks tertentu, mereka juga memiliki potensi untuk membawa dampak negatif. Menurut Shira Gabriel, seorang profesor di Universitas Buffalo, image crafting yang terlalu berlebihan atau tidak otentik dapat memicu perasaan cemburu atau tidak nyaman pada orang lain, sementara flexing yang berlebihan dapat memicu perasaan iri atau tidak berharga pada orang lain.
Oleh karena itu, para ahli merekomendasikan agar kita menggunakan image crafting dan flexing dengan bijak, dan selalu mempertimbangkan efeknya terhadap citra diri dan orang lain. Dalam konteks bisnis atau branding, ahli merekomendasikan agar kita membangun citra yang autentik dan konsisten dengan nilai atau pesan yang ingin disampaikan, sementara sebagai konsumen, kita harus cerdas dalam menilai citra yang ditampilkan oleh orang lain atau merek di media sosial.