Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Twitter ala Elon Musk, antara Emosi dan Rasionalitas

5 Mei 2022   06:27 Diperbarui: 5 Mei 2022   11:01 1166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Elon Musk membeli Twitter. (sumber: TechCrunch/ Bryce Durbin via kompas.com)

Jagat maya Twitter dalam beberapa hari ini kembali digegerkan dengan kabar yang membahana badai! 

Elon Reeve Musk, bapak dari tujuh anak ini mengguncangkan dua jagat raya. Pembelian saham Twitter 100 % cukup membuat Elon the "Iron Man" Musk kini semakin moncer dalam dunia bisnis. 

Bagaimana dengan segala ide-idenya yang nyentrik? Mengundang kontroversi? Ya tentu saja. Mas Musk, gitu. Demikian pula dengan saham si burung biru yang kini berada dalam pelukan mesranya. Banyak yang merasa was-was. Ada pula yang bergembira ria. 

Sebagai pengguna media sosial bergambar burung putih kecil ini, saya dari semenjak pertama mengikuti wacana pembelian saham Twitter. Apakah saya penggemar Elon? Wah, bukan samsek. Bukan sama sekali. 

Hanya saja ada beragam berita yang sedang trending, baik di dalam maupun di luar negeri saya ikuti. Beberapa cuitan pun terkadang saya lemparkan sebagai sinyal kepedulian sebagai warga republik Twitter yang konon katanya: maha benar. 

Sebuah sinyal kepedulian? Waw, empati sekali kedengarannya, Kisanak. Benarkah? 

Tanpa panjang lebar lagi, saya ingin pula mencuit di sini. Mari bergeser sebentar dari keramaian opini publik tentang jagat Tweeter Elon Musk. 

Berdasarkan pada indeks yang disajikan oleh portal resmi BPS, pada tahun 2020 penduduk Indonesia yang menggunakan telepon seluler sebanyak 355.620.388.

Melalui internetworldstats.com Indonesia masih menduduki ranking ke-3 pemakai internet terbanyak se-Asia. Sebanyak 212.354.070 jiwa penduduk Indonesia menggunakan internet (per-31 Desember 2022). 

Mari coba kita intip, seberapa banyak warganet Indonesia pengguna aplikasi yang didirikan oleh Jack Dorsey pada Maret 2006 ini. 

Sedikit mencuil statistik dari Statista via katadata.com per Januari 2022, Indonesia masuk dalam 5 besar negara pengguna Twitter terbanyak di dunia. Sejumlah 18,45 juta pengguna aplikasi Twitter menempatkan Indonesia berada pada posisi di bawah AS, Jepang, India, dan Brazil. 

Beragam aktivitas dapat kita temukan melalui jejaring sosial berlogo burung tweety ini. Namun, sebagian besar warganet Indonesia memilih menjadi konsumen informasi. Dalam artian, bahwa twitter Indonesia didominasi oleh mereka yang membutuhkan akses untuk mengunggah status pribadi.

Selain mengunggah status, twitter banyak digunakan oleh warganet untuk saling melempar opini. Sehingga tak jarang twitter menjadi medan Kurusetra sebagai gelaran aksi twitwar. 

Entah ide nyentrik konstruktif apa pun yang akan diusung oleh Elon Musk, yang pasti ia menjanjikan tersedianya lahan bagi individu untuk beropini secara bebas, menyediakan fitur-fitur baru, membuat algoritma open source, hingga mengautentifikasi manusia.

Pertanyaan saya, apakah kebebasan beropini--yang entah sampai batas mana--tersebut mampu mengusung manusia kepada kondisi yang lebih bahagia, lebih sejahtera dari kondisi saat ini?

Ilustrasi : Twitter ala Elon Musk | via forbes.com
Ilustrasi : Twitter ala Elon Musk | via forbes.com

Katakan saja, mas Musk memang memberikan ruang seluas-luasnya bagi para penikmat algoritma. Tapi, dengan jalan demikian apakah lantas kesejahteraan masyarakat yang kita dambakan akan terwujud? Let us see. 

Mengaca dari keberhasilan negara-negara nordik semacam Finlandia, Norwegia, atau Denmark. Sebagai negara yang dianggap dan diakui sebagai negara yang paling bahagia, menyandarkan pemahaman kebahagiaan bukan pada kemakmuran melainkan kesejahteraan. 

Bukankah kita yang selama ini mengejar kebahagiaan pun juga mendambakan iklim yang sama? Tetapi apakah kondisi di negara nordik tersebut dapat diterapkan di Indonesia? 

Kultur yang membungkus negara kita mungkin berbeda dengan negara nordik. Namun salah satu permasalahan intinya terletak pada bagaimana sikap masyarakat meresponi informasi. 

Seorang psikolog ternama, Daniel Goleman dalam bukunya "Emotional Intelegence" menguraikan penuh bagaimana pentingnya mempunyai kecerdasan emosional. 

Salah satu unsur penting dalam kecerdasan emosi adalah interaksi sosial. Sedangkan faktor yang menentukan berjalannya interaksi sosial adalah kontak sosial dan komunikasi.

Tanpa mengesampingkan kecerdasan intelektual maupun spiritual, kali ini saya tertarik membawa kita bersama belajar tentang interaksi sosial yang sangat berhubungan erat dengan kecerdasan emosional. 

Nah apa hubungannya kecerdasan emosional dengan kecerdasan sosial? Let's cekidot! 

Kecerdasan Emosi Penting Bagi Otak Rasionalitas

Pada waktu-waktu yang lampau, saya pernah menjadi bagian dari twitwar. Rasanya saya benar-benar puas bila opini saya diterima oleh lawan. Seru. 

Hingga suatu ketika saya menemukan satu pertanyaan yang menggantung dalam benak saya. Lalu muncul pertanyaan dalam diri saya : apa manfaat kepuasan twitwar bagi saya? Adakah manfaatnya bagi liyan? Sampai sejauh mana manfaat tersebut dirasakan? 

Semakin ke arah masa kini, kerap kita jumpai cuitan warganet yang menumbuhkan kompetisi bagi warganet lain. Seakan menggulirkan bola panas di tengah badai angin kencang. 

Mengapa banyak orang seringkali gampang terpicu menanggapi cuitan warganet lain? Uniknya, kita semua tahu mungkin karena terdorong emosi. Demi membaca ataupun mendengar kabar yang tidak nyaman, langsung mencuit begitu saja. 

Ya, kemudian muncul pertanyaan lagi. Bagaimana perasaan mampu menggulung respon kita sedemikian rupa sehingga muncul keputusan cepat untuk mencuit? 

Joseph Le Deux, seorang ahli saraf di Center of Neural Science di New York University membuat terobosan baru dalam dunia sains. Ia mengadakan penelitian yang menumbangkan paradigma lama mengenai peranan perasaan dan akal dalam diri manusia. 

Paradigma lama menganggap bahwa nalar bekerja sedemikian rupa bebas dari perasaan atau emosi. Sementara, paradigma baru membawa pemahaman bahwa penting bagi kita menyesuaikan emosi dan rasionalitas. 

Seberapa banyak dari kita memahami bahwa emosi terlibat dalam setiap keputusan kita? Terkadang tanpa sadar, kita merespon dengan cepat pada suatu peristiwa dengan didasari oleh emosi. 

Yang sering tidak kita pahami adalah bagaimana kita seringkali mengambil tindakan yang tidak rasional. Mengambil keputusan berdasar dorongan impulsif dari emosi kita. Lantas, ketika deru emosi mulai melandai yang ada hanya tinggal penyesalan. 

Le Deux (Goelman, 1999) kembali menyatakan dalam penelitiannya bahwa amigdala (sistim limbik, yaitu bagian otak yang mengatur emosi kita) seringkali mengambil alih kendali. Atas apa? Atas semua yang kita kerjakan. 

Bahkan saat neokorteks, yaitu bagian otak berpikir kita sedang menyusun keputusan. Le Deux beranggapan bahwa tanpa sadar kita melibatkan emosi dalam aktivitas keseharian kita. 

Okay mari saya contohkan. Coba bayangkan ketika kita mengunci pintu, atau naik sepeda, atau membuka jendela, atau saat kita makan, minum, bahkan saat berjalan. Apakah kita melakukan semua aktivitas tersebut dengan berfikir terlebih dahulu? 

Semua aktivitas tersebut kita lakukan tanpa menggunakan otak rasional kita untuk berpikir. Pada awal kita belajar mungkin kita akan berpikir bagaimana membawa baki yang benar atau bagaimana supaya bersepeda dengan benar. Namun dengan berlatih, pada akhirnya kita terbiasa melakukan aktivitas tersebut. 

Semua kita lakukan begitu saja. Bukan karena refleks. Kita melakukan samua aktivitas tersebut menggunakan otak emosi kita. 

Otak manusia bekerja bukan untuk melakukan konfirmasi kebenaran, melainkan memberikan afirmasi terhadap keyakinan. (dr. Ryu Hasan) 

Rasionalitas memang bukan merupakan ciri manusia. Pada masa prasejarah manusia bertahan hidup menggunakan otak emosi. Mereka tidak memerlukan konfirmasi apakah informasi yang mereka terima benar atau salah. Asalkan informasi tersebut bermanfaat untuk bertahan hidup, maka akan digunakan. 

Melalui evolusinya otak manusia mempunyai bakat rasionalitas. Tentu saja, otak rasional membutuhkan latihan untuk menjadi kebiasaan. 

Maka penting sekali untuk melatih otak rasionalitas kita. Caranya? Dengan melatih otak emosi. Bagaimana menggunakan otak emosi dengan cerdas. Bagaimana mungkin melatih otak rasional dengan menggunakan emosi. 

Okay. Artinya bahwa pada dasarnya penyesalan pun dapat kita hindari. Dengan apa? Practise! Latihan. Tentu saja, but how? 

Pertama, pada saat informasi datang, tunda diri untuk berkomentar selama 2-10 detik. Apakah cukup? Itu lebih dari cukup.

Dalam 2-10 detik tersebut coba tanyakan pada diri kita sendiri apakah ada manfaat kita membagikan opini kita pada publik? Apa manfaatnya bagi kita sendiri, atau bagi orang lain? Perlukah kita membagikan informasi tersebut kepada orang lain? 

Kedua. Apabila masih ingin menanggapi sebuah komentar atau informasi, coba lakukan cek dan ricek. Terkadang informasi datang memantik amigdala kita untuk waspada. Memberi sinyal pada kita. Lantas emosi kita mulai datang bagai badai. 

Banyak dari kita langsung dengan cepat menanggapi. Meresponi. Tanpa terlebih dahulu melakukan konfirmasi kebenaran informasi tersebut. 

Kita akan lebih mudah menggunakan otak rasional bila sudah terbiasa. Keputusan yang tidak rasional biasanya datang karena kecerdasan emosional kita kurang terlatih. 

Sangat dianjurkan supaya kita melatih anak-anak untuk menunda hasrat mereka. Sejak usia berapa? Sedini mungkin. Semenjak anak-anak dapat menyadari keberadaannya. 

Salam sehat, salam sadar. 

Penulis

*Sumber: 

1. katadata.com

2. internetworldstats.com

3. Goelman, Daniel. Kecerdasan Emosional. Alih bahasa Th. Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 1999

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun