Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Twitter ala Elon Musk, antara Emosi dan Rasionalitas

5 Mei 2022   06:27 Diperbarui: 5 Mei 2022   11:01 1166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Elon Musk membeli Twitter. (sumber: TechCrunch/ Bryce Durbin via kompas.com)

Sedikit mencuil statistik dari Statista via katadata.com per Januari 2022, Indonesia masuk dalam 5 besar negara pengguna Twitter terbanyak di dunia. Sejumlah 18,45 juta pengguna aplikasi Twitter menempatkan Indonesia berada pada posisi di bawah AS, Jepang, India, dan Brazil. 

Beragam aktivitas dapat kita temukan melalui jejaring sosial berlogo burung tweety ini. Namun, sebagian besar warganet Indonesia memilih menjadi konsumen informasi. Dalam artian, bahwa twitter Indonesia didominasi oleh mereka yang membutuhkan akses untuk mengunggah status pribadi.

Selain mengunggah status, twitter banyak digunakan oleh warganet untuk saling melempar opini. Sehingga tak jarang twitter menjadi medan Kurusetra sebagai gelaran aksi twitwar. 

Entah ide nyentrik konstruktif apa pun yang akan diusung oleh Elon Musk, yang pasti ia menjanjikan tersedianya lahan bagi individu untuk beropini secara bebas, menyediakan fitur-fitur baru, membuat algoritma open source, hingga mengautentifikasi manusia.

Pertanyaan saya, apakah kebebasan beropini--yang entah sampai batas mana--tersebut mampu mengusung manusia kepada kondisi yang lebih bahagia, lebih sejahtera dari kondisi saat ini?

Ilustrasi : Twitter ala Elon Musk | via forbes.com
Ilustrasi : Twitter ala Elon Musk | via forbes.com

Katakan saja, mas Musk memang memberikan ruang seluas-luasnya bagi para penikmat algoritma. Tapi, dengan jalan demikian apakah lantas kesejahteraan masyarakat yang kita dambakan akan terwujud? Let us see. 

Mengaca dari keberhasilan negara-negara nordik semacam Finlandia, Norwegia, atau Denmark. Sebagai negara yang dianggap dan diakui sebagai negara yang paling bahagia, menyandarkan pemahaman kebahagiaan bukan pada kemakmuran melainkan kesejahteraan. 

Bukankah kita yang selama ini mengejar kebahagiaan pun juga mendambakan iklim yang sama? Tetapi apakah kondisi di negara nordik tersebut dapat diterapkan di Indonesia? 

Kultur yang membungkus negara kita mungkin berbeda dengan negara nordik. Namun salah satu permasalahan intinya terletak pada bagaimana sikap masyarakat meresponi informasi. 

Seorang psikolog ternama, Daniel Goleman dalam bukunya "Emotional Intelegence" menguraikan penuh bagaimana pentingnya mempunyai kecerdasan emosional. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun