Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Antara Aku, Kau, dan Diya

12 Mei 2020   10:21 Diperbarui: 12 Mei 2020   10:20 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudut ruangan kamar Ryu dipenuhi dengan tumpukan buku, sebuah PC lawas yang masih menyala, dan kursi empuk berhadapan dengan meja belajarnya.

Malam yang berat baginya. Quotes dari Richard Carlson menghiasi layar lappy lawasnya. Mount Beatitudes terpilih menjadi wallpaper PC dengan sedikit pesan, 'we're only human beeing, not human doing' tak jenuh mengingatkannya untuk beranjak dari kursi belajarnya.

Terdengar suara kentongan yang dipukul berirama di kampungnya telah dua kali berkeliling meronda. Mata Ryu melirik jam bulat berwarna hijau di mejanya. Pukul 00.01 tepat.

Beberapa pesan singkat Devara terlihat memenuhi layar ponselnya. Hanya dilirik sebentar, lalu kembali menatap lappy  di hadapannya.

Selintas keluar dari ruang amigdalanya, wajah Levia, sahabat sebangku, senasip dan sepenanggungan mulai SMP hingga kuliah. Gadis yang begitu cantik, sopan, dan begitu santun gaya bahasanya. Senyum manisnya meruntuhkan hati setiap pria yang mengenalnya. Dan Ryu hanya bisa merasa sebagai bayangannya. 

Selama dengan Via, begitulah ia memanggil sahabat dekatnya, Ryu merasa begitu lemah. Ia merasa tenggelam bila bersama Via. Hidung mancung, kulit lebih cerah, tinggi badan yang lebih dua sentimeter dari Ryu, rambut sebahu Via yang lurus, serta keramahan Via, senyum gadis itu, mata bulatnya, oh, seakan membunuh dunia Ryu. Segera. Dalam sesaat.

Kerap ia melihat Via menerima surat pengajuan cinta dari beberapa teman pria mereka. Surat-surat yang kadang hanya dikumpulkan sahabat cantiknya itu di sebuah kotak kaleng bermotif vintage di bawah laci dekat tempat tidurnya.

Kamar Via sangat berbeda dengan rupa kamarnya saat ini. Di atas laci dekat tempat tidurnya bukan tumpukan surat cinta. Hanya buku Mark Manson si blogger keren dan buku A.A. Mansyur tergeletak di sana.

Tak ada vas bunga atau gambar-gambar vintage ala-ala gadis manis tertempel di dindingnya. Hanya wajah sastrawan pujaannya, Arswendo Atmowiloto yang tersenyum manis, dengan pesan "Aku Gila Menulis" di bagian bawah poster cilik kebanggaannya.

Di sebelah kiri poster Ohm Wendo, tergantung sebuah lukisan timbul bergambar dirinya dengan tulisan plesetan Trilogi Pendidikan, pemberian seorang kawan aktivis Mei 1998. 

Diliriknya tulisan miring Rio, kawan seperjuangannya di jalanan dulu,

"Ing ngarso numpuk bondho, 

Ing madya nunut kuasa, 

Tut wuri ndherek korupsi"

"Dasar Rio gila," desah Ryu disertai senyum mahalnya.

Penat otaknya oleh kata-kata Rafli, tunangan Levia siang kemarin. Via, ...yha gadis itu hamil. Hamil? Dan yang terburuk adalah dengan seseorang yang ia anggap begitu tepat untuk menjadi lelaki masa depannya.

Denting lonceng kecil terdengar dari gawainya. Dengan malas ia meraih ponsel hitam itu dan segera terhubung dengan Devara.

"Keypad HP mu rusak yha ? Dari tadi di chat ga dibaca," ujar Devara dengan nada kesal.

"Oh ...yha. Ntar aku liat lagi dah," jawab Ryu asal-asalan.

"Liat apanya, kaleng rombeng? Keypadmu? Sudahlah, kau kacau hari ini. Besok kita keluar makan yuks. Aku janji ga bakal ngomongin Via lagi, okay?"

Demi mendengar nama Via, hampir saja gawai di tangan Ryu terlempar masuk aquarium kecil berisi satu ikan carassius auratus, yang ia beri nama Ryukin. Ikan bermata belok yang ikhlas hanya berputar-putar mengitari habitat mungilnya.

"Sadari cafe. I'll be there tomorrow," sahutnya sambil mencoba memejamkan mata, menidurkan dirinya diatas pagi yang mulai berembun.

Hujan menetes tipis pagi itu. Ryu segera mengambil jaket hitam Lee Cooper kesayangannya beserta sandal jepit Joger hibah dari kawan kecilnya di Bali. Cuek dengan celana pendek jeans dan kaus t-shirt putih kebanggaannya, ia melangkah ke kafe yang hanya berjarak 400 m dari halaman rumahnya.

"Lihat ini. Just take a look at this," sebuah artikel tentang kasus kriminal dilingkari Devara yang telah lebih dahulu sampai.

Terpampang gambar sketsa seseorang yang tak mungkin lewat sedikit pun dari ingatannya. Tampakan pria bermuka tirus, berjenggot tipis, dengan rambut yang hampir bercampur warna putih ada di ujung gambar ilustrasi artikel.

"Lorem ipsum. Mengapa orang ini ada di sini?" tanya Ryu.

"Rio?" tanya Devara. "Pelanggaran ITE, pemalsuan data diri, hacker di salah satu bank swasta," lanjut Devara seraya menikmati moca latte pesanannya lima menit yang lalu.

"Lalu apa maumu?"

Mata Devara menatap Ryu. Bola mata elangnya berputar ke kiri. Mulutnya masih terkatup. Sesaat kemudian pandangnya dilemparkan ke luar kafe. Tangan kanannya mengusap wajah kotak bertulang pipi tegas, setegas tiap kata yang keluar dari mulutnya.

Ditatapnya Ryu yang sibuk dengan pikirannya sendiri. Seakan tak berada dalam ruang yang sama dengannya. Sorot mata gadis itu kosong. Hanya mengarah di salah satu sudut meja. Sesekali ia menenggak jus dalam kemasan botol di hadapannya.

"Kau tahu Rio, bukan? Kalian pernah sekampus, bahkan pernah terlibat dalam aksi Mei '98 lalu,"

"Ya," jawab Ryu singkat. "Kau ingin aku membantumu?"

"Ryu, jangan paksa aku memasukkanmu dalam ruang penyidikan lagi,"

Kini mata Ryu menatap tajam Devara. Kepalanya ia miringkan ke kiri. Dipandanginya pria dengan tatoo imago dei di lengan kirinya.

"Lipsum. Lorem ipsum," jawab Ryu singkat.

"Apa itu?"

"Time is up. I gotta go. Ada kerjaan yang kutinggal di rumah," tentu saja sekali ini Ryu berkata bohong.

Tubuh ramping perempuan berkuncir ekor kuda itu segera meninggalkan Devara sendiri berada di bangku kafe. Mengaliri benaknya dengan satu kata tanya yang coba ia pecahkan dari sahabat sekaligus perempuan yang ia kagumi diam-diam.

'Lorem ipsum. Apa maksudnya?' dengan penuh kata tanya yang masih memenuhi jagat logikanya, Devara hanya memandang ke arah Ryu yang berjalan semakin menjauhi kafe tanpa menoleh sedikit pun.

Sementara Ryu berbalut t-shirt putih masih ditemani sebotol minuman isotonik yang ia bawa dari kafe berjalan gontai menuju rumahnya. 

Ditenggaknya tetes terakhir air isotonik lalu dibuangnya botol bekas itu di tempat sampah, di depan halaman rumah lawas yang dikontrakan berjarak 200 m dari rumahnya.

Sebuah benda yang terbuang di tempat sampah tersebut sempat menarik hatinya. Sebuah kumpulan artikel dari sobekan koran lawas, memuat gambar aksi demonstrasi mahasiswa di depan gedung MPR.

Bendera dari berbagai lembaga senatoris kampus merapat di sana. Diambilnya sebuah batang kayu kecil yang berserakan di bawah pohon tamarindus indica yang tertiup angin. Dibukanya sobekan koran lawas itu dengan batang ranting kering tersebut.

Ingatannya mengurai jauh ke masa lampau. Kala itu ia dan Rio meringkuk dalam selokan, hanya untuk menyelamatkan diri dari gas air mata yang dilempar aparat saat sebagian mahasiswa melakukan sholat maghrib di sela aksi demo dua puluhan tahun yang lalu.

Jiwa jurnalis dalam dirinya mulai memunculkan barisan matriks pertanyaan dalam lobus frontalnya.

'Kebetulankah ini ? Atau ini hanya imajinya sajakah?' satu dari pertanyaan dasar telah berkembang dalam logikanya.  "Dasar Rio gila," umpat Ryu pelan. 

Sebentar ia pandangi rumah lawas yang eksteriornya benar-benar tak layak pandang. Dindingnya penuh jamur, ada beberapa bagian tembok yang catnya mengelupas, juga plafon rumah yang jebol di beberapa bagian. Siapa pun penghuninya seharusnya menata ulang rumah tinggal itu.

Namun segera kakinya mengajak Ryu melangkah pergi, meninggalkan rumah dengan gerbang karatan itu.

[*Solo...kala pikiran membawakan masa lalu kepadaku]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun