Kini mata Ryu menatap tajam Devara. Kepalanya ia miringkan ke kiri. Dipandanginya pria dengan tatoo imago dei di lengan kirinya.
"Lipsum. Lorem ipsum," jawab Ryu singkat.
"Apa itu?"
"Time is up. I gotta go. Ada kerjaan yang kutinggal di rumah," tentu saja sekali ini Ryu berkata bohong.
Tubuh ramping perempuan berkuncir ekor kuda itu segera meninggalkan Devara sendiri berada di bangku kafe. Mengaliri benaknya dengan satu kata tanya yang coba ia pecahkan dari sahabat sekaligus perempuan yang ia kagumi diam-diam.
'Lorem ipsum. Apa maksudnya?' dengan penuh kata tanya yang masih memenuhi jagat logikanya, Devara hanya memandang ke arah Ryu yang berjalan semakin menjauhi kafe tanpa menoleh sedikit pun.
Sementara Ryu berbalut t-shirt putih masih ditemani sebotol minuman isotonik yang ia bawa dari kafe berjalan gontai menuju rumahnya.Â
Ditenggaknya tetes terakhir air isotonik lalu dibuangnya botol bekas itu di tempat sampah, di depan halaman rumah lawas yang dikontrakan berjarak 200 m dari rumahnya.
Sebuah benda yang terbuang di tempat sampah tersebut sempat menarik hatinya. Sebuah kumpulan artikel dari sobekan koran lawas, memuat gambar aksi demonstrasi mahasiswa di depan gedung MPR.
Bendera dari berbagai lembaga senatoris kampus merapat di sana. Diambilnya sebuah batang kayu kecil yang berserakan di bawah pohon tamarindus indica yang tertiup angin. Dibukanya sobekan koran lawas itu dengan batang ranting kering tersebut.
Ingatannya mengurai jauh ke masa lampau. Kala itu ia dan Rio meringkuk dalam selokan, hanya untuk menyelamatkan diri dari gas air mata yang dilempar aparat saat sebagian mahasiswa melakukan sholat maghrib di sela aksi demo dua puluhan tahun yang lalu.