Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ode Buat Si Anak Jalanan

19 Februari 2020   21:21 Diperbarui: 19 Februari 2020   21:26 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam menjelang. Langit semakin terlihat kelam tanpa bintang. Perempatan jalan masih diramaikan oleh mobil dan kendaraan roda dua berlalu lalang.

Di ujung perempatan, seorang anak kecil menembus rinai hujan di awal bulan yang kata orang, penuh kasih sayang . Udara terasa begitu dingin. Pecahan air hujan di atas jalanan membuat udara begitu lembab.

Pandangan matanya dengan cepat menelusuri badan jalan selama 20 detik  lampu merah menyala. Bau badan yang tak sedap tercium menyengat hidung. Bau keringat malam bercampur dengan air lembut hujan sang tirai malam.

Sinar mata yang nanar menjelajah angin malam. Suara parau tak terkira enggan membuatnya berhenti dari satu-satunya pekerjaan yang biasa ia lakukan. Menyanyi. Seusai bergulat dengan waktu dalam kisaran detik, anak berbaju kumal itu kembali mencari tempat berteduh.

Badannya terlihat lusuh, dibalut pakaian seadanya, tak kalah lusuh dengan wajahnya. Di antara gemerlap lampu kota, ia menatap kosong setiap mobil yang berhenti di perempatan jalan.

Sebentar-bentar ia meringis menahan sakit. Beberapa lebam di sekujur punggungnya belum hilang. Lebam kena pukul tangan gegabah si pentolan preman yang sering meminta upeti bak pemerintah jaman kolonial Belanda. 

Lebam. Untung lebam. Sakit kepala sisa pentungan masih dirasakannya. Tetapi yaa, untung hanya lebam. Bila saja Bang Yanto tak datang, ia pasti sudah berbentuk mayat.

Sesekali saat lampu perempatan jalan  menyala merah, ia menghampiri sebuah mobil yang dirasa cukup mewah, untuk memberinya sekedar recehan rupiah, dari suara parau yang sebenarnya memang payah.

Usai meluncurkan dendang, ia kembali duduk di trotoar, dengan rokok hasil ngamen siang tadi. Membelinya? Bukan. Buat apa membeli, itu hanya sepuntung rokok yang dibuang begitu saja oleh pemilik lamanya.

"Ameeeeennn!!!" itu bukan suara dari jemaah yang sedang beribadah. Suara serak datang dari lelaki garang, namanya Bang Yanto Budheg, preman pasar yang selalu mangkal di halte bus.

"Iya, Bang," jawab Amen cepat dengan detak jantung yang mulai tak berima lagi, seiring tubuh kecilnya yang gemetaran karena dingin air hujan.

Perutnya mulai menuntut isi, namun selalu dibohonginya rasa lapar itu dengan hanya menggeliat, memuntir pelan badannya. Beberapa recehan dan uang kertas  masuk ke saku celana satu-satunya. Ia seringkali kena marah Bang Yanto hanya karena ia terlalu sayang pada rupiah-rupiahnya bila hanya ditukar dengan sepiring nasi.

"Sodrun ...!!!" lantang suara Bang Yanto preman pasar dekat halte tempat ia mangkal ngamen. "Nih makan," sebungkus nasi padang masih hangat dilemparkan dekat ia duduk.

Begitulah Abangnya itu yang selalu menaruh perhatian padanya. Meski seumur hidupnya kini ia tak pernah mengerti apakah Abangnya itu benar-benar Abang sedarahnya atau bukan. Namun Amen tak pernah peduli.

Tampang sangar khas preman, dan kehidupan semrawut yang tak pernah lepas dari dunia tipu menipu, palak, dan dunia jalanan yang tak kenal santun dan kesopanan pun tak pernah ia hiraukan. Semua itu tak menghalangi Amen menikmati setiap waktunya dengan Bang Yanto. Baginya, Abangnya tetaplah Abangnya.

Ia tak tahu, mengapa Abangnya memanggil dia Amen. Orang bilang, ia hanya seorang bayi buangan yang ditemukan di pasar dalam sebuah kardus. Selanjutnya, ia hanya tahu Bang Yanto adalah kakak dan orang tuanya. Ia hidup dengan orang yang ia kenal sebagai satu-satunya penyelamat hidupnya.

Tak lama, datang seorang gadis kecil, merengek di sampingnya. Seorang gadis kecil berumur sekitar lima tahun. Tangisan si gadis kecil itu tak terlalu kencang, namun mampu meruntuhkan iba Amen.

Tak banyak kata yang terucap disela isak tangis yang tertahan, "Mas, aku pengen itu," jari kecilnya menunjuk pada susu siap saji di kotak pedagang asongan yang sedang berhenti menjajakan dagangannya.

Tanpa berpikir panjang lagi dikeluarkannya selembar uang dua ribuan. Dibelikannya sekotak susu kardus siap saji rasa stroberi. Sebentar kemudian reda tangis si gadis lima tahun.

Tetiba seorang wanita berpakaian lusuh menggandeng tangan anak kecil itu. Mengajaknya beranjak meninggalkan Amen yang masih menikmati hujan mengguyur badan jalan yang sepi di perempatan kota.

Diteruskannya menghisap puntung rokok di himpitan tangannya, dihabiskan sisa tembakau, dan dinikmatinya nikotin terakhir dari puntung rokok yang ternyata milik seorang waria, yang juga mangkal mencari puntung rokok dari saku binatang jalang, penjelajah malam, pencari kepuasan nafsu yang coba ditawarkan malam waktu itu.

"Kau belikan apa?" tanya Bang Yanto pelan, duduk di dekatnya.

"Susu. Kemaren mbak Narti cuman dapet 75, ga bisa buat bli susu kotak. Padahal cuman 2 ribuan doang, Bang,"

"Dasar pengemis. Mo punya duit banyak, tetap aja jadi pengemis," jawab Bang

"Abang pulang ga malam ini?"

"Mungkin, Men," jawab Bang Yanto asal-asalan. "Aku harus ketemu Eneng." 

"Bang Eneng? Hhh, tidur di emperan lagi, Bang?"

"Nanti Abang pulang, kalau sudah waktunya pulang," tak pernah ada jawaban pasti dari Bang Yanto. Selalu saja begitu.

"Pulang, Bang. Rumah sepi,"

Bang Yanto menatap Amen sebentar. Pandangan yang datar. Hanya pandangan, tak disertai dengan sepatah kata pun juga.

Tangan bertatonya mengusap pelan wajah tua termakan usia. Lipatan kulit hasil karya miras terlihat di raut muka yang memandang jauh ke sebrang jalan. Raut muka Bang Yanto yang letih memenuhi batin Amen.

Sebentar ia tersenyum pada beberapa anak jalanan dengan dandanan kumal, sepatu boot, dan model rambut seperti sapu punya mak Ijah empunya warung kopi di sebelah rumah.

Sesekali seyum itu diiringi dengan kata,"Yok..." 

Kadang ia hanya menjawab,"Ogah. Ntar aja," saat beberapa teman mengajaknya mendulang miras diatas kehidupan malam.

Bang Yanto bukan seperti mereka. Preman satu ini tak mau sembarang menuai kenikmatan palsu. Katanya, itu hanya palsu. Entah apa saja yang dikerjakannya di jalan. Ia hanya pulang ke rumah menengok Amen sebentar, memberinya uang, lalu pergi lagi.

Asap mengepul dari hisapan rokoknya. Rambut yang semburat putih, hampir gimbal. Tak terurus. Entah kapan ia terakhir kali membersihkan badan tuanya. 

"Kamu yang harus pulang. Sebentar lagi ada yang datang. Jangan ngeyel. Pulang sekarang! Jangan ngamen lagi!" perintahnya agak keras, kali ini.

Malam mengusung rembulan kembali ke peraduannya. Sedang waktu mengusung tahtanya kepada mentari pagi yang giat menutupi gelap tanpa bintang yang terangnya digantikan oleh kerlap-kerlip lampu-lampu toko, dan terangnya merkuri memagari jalan raya.

Jalanan ini belum berubah. Masih dengan lampu merah yang terus bergantian mengatur kendaraan yang makin bertambah. Laju motor dan mobil masih terdengar menderu, saling berlomba menikmati jalanan beraspal. 

Lampu di persimpangan jalan masih bergantian berkedip. Merah. Oranye. Hijau. Dan semua kendaraan mengikuti arahannya. 

Amen tak lagi mengamen. Namun Narti dan anak kecilnya masih mengemis, waria itu masih wara- wiri meski tak sering membuang puntung rokok lagi. Pedagang asongan pun masih memperjuangkan nasibnya.

Hingga suatu ketika, sekelompok orang berseragam, mendatangi perempatan jalan, mengangkut semua orang di tempat itu, ke dalam mobil impian, yang bentuknya hampir menyerupai keranda. Membersihkan halte, kata mereka.

Dan kini, perempatan itu, sepi. Hanya lampu pengatur jalan yang mendapat gelar "bangjo" tetap setia berdiri meniti hari.

*Solo, .... (terinspirasi dari seorang anak jalanan yang pernah bercerita,

"Anak jalanan. Begitulah mereka menyebutku. Sampah masyarakat? Silahkan saja sebut seperti itu. Toh inilah perjalananku. Aku pun tak tahu darimana asalku. Aku sudah lupa. Yang kuingat, aku bermain di sebuah stasiun kota. Lalu ada sebuah gerbong kereta yang berhenti, dan aku duduk, tapi tiba-tiba kereta itu berjalan dan sampailah aku di sini. Kota asing ini. Tak tahu bagaimana aku harus pulang, yang penting aku besok harus bisa makan" )

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun