Kadang ia hanya menjawab,"Ogah. Ntar aja," saat beberapa teman mengajaknya mendulang miras diatas kehidupan malam.
Bang Yanto bukan seperti mereka. Preman satu ini tak mau sembarang menuai kenikmatan palsu. Katanya, itu hanya palsu. Entah apa saja yang dikerjakannya di jalan. Ia hanya pulang ke rumah menengok Amen sebentar, memberinya uang, lalu pergi lagi.
Asap mengepul dari hisapan rokoknya. Rambut yang semburat putih, hampir gimbal. Tak terurus. Entah kapan ia terakhir kali membersihkan badan tuanya.Â
"Kamu yang harus pulang. Sebentar lagi ada yang datang. Jangan ngeyel. Pulang sekarang! Jangan ngamen lagi!" perintahnya agak keras, kali ini.
Malam mengusung rembulan kembali ke peraduannya. Sedang waktu mengusung tahtanya kepada mentari pagi yang giat menutupi gelap tanpa bintang yang terangnya digantikan oleh kerlap-kerlip lampu-lampu toko, dan terangnya merkuri memagari jalan raya.
Jalanan ini belum berubah. Masih dengan lampu merah yang terus bergantian mengatur kendaraan yang makin bertambah. Laju motor dan mobil masih terdengar menderu, saling berlomba menikmati jalanan beraspal.Â
Lampu di persimpangan jalan masih bergantian berkedip. Merah. Oranye. Hijau. Dan semua kendaraan mengikuti arahannya.Â
Amen tak lagi mengamen. Namun Narti dan anak kecilnya masih mengemis, waria itu masih wara- wiri meski tak sering membuang puntung rokok lagi. Pedagang asongan pun masih memperjuangkan nasibnya.
Hingga suatu ketika, sekelompok orang berseragam, mendatangi perempatan jalan, mengangkut semua orang di tempat itu, ke dalam mobil impian, yang bentuknya hampir menyerupai keranda. Membersihkan halte, kata mereka.
Dan kini, perempatan itu, sepi. Hanya lampu pengatur jalan yang mendapat gelar "bangjo" tetap setia berdiri meniti hari.
*Solo, .... (terinspirasi dari seorang anak jalanan yang pernah bercerita,