"Susu. Kemaren mbak Narti cuman dapet 75, ga bisa buat bli susu kotak. Padahal cuman 2 ribuan doang, Bang,"
"Dasar pengemis. Mo punya duit banyak, tetap aja jadi pengemis," jawab Bang
"Abang pulang ga malam ini?"
"Mungkin, Men," jawab Bang Yanto asal-asalan. "Aku harus ketemu Eneng."Â
"Bang Eneng? Hhh, tidur di emperan lagi, Bang?"
"Nanti Abang pulang, kalau sudah waktunya pulang," tak pernah ada jawaban pasti dari Bang Yanto. Selalu saja begitu.
"Pulang, Bang. Rumah sepi,"
Bang Yanto menatap Amen sebentar. Pandangan yang datar. Hanya pandangan, tak disertai dengan sepatah kata pun juga.
Tangan bertatonya mengusap pelan wajah tua termakan usia. Lipatan kulit hasil karya miras terlihat di raut muka yang memandang jauh ke sebrang jalan. Raut muka Bang Yanto yang letih memenuhi batin Amen.
Sebentar ia tersenyum pada beberapa anak jalanan dengan dandanan kumal, sepatu boot, dan model rambut seperti sapu punya mak Ijah empunya warung kopi di sebelah rumah.
Sesekali seyum itu diiringi dengan kata,"Yok..."Â