Perutnya mulai menuntut isi, namun selalu dibohonginya rasa lapar itu dengan hanya menggeliat, memuntir pelan badannya. Beberapa recehan dan uang kertas  masuk ke saku celana satu-satunya. Ia seringkali kena marah Bang Yanto hanya karena ia terlalu sayang pada rupiah-rupiahnya bila hanya ditukar dengan sepiring nasi.
"Sodrun ...!!!" lantang suara Bang Yanto preman pasar dekat halte tempat ia mangkal ngamen. "Nih makan," sebungkus nasi padang masih hangat dilemparkan dekat ia duduk.
Begitulah Abangnya itu yang selalu menaruh perhatian padanya. Meski seumur hidupnya kini ia tak pernah mengerti apakah Abangnya itu benar-benar Abang sedarahnya atau bukan. Namun Amen tak pernah peduli.
Tampang sangar khas preman, dan kehidupan semrawut yang tak pernah lepas dari dunia tipu menipu, palak, dan dunia jalanan yang tak kenal santun dan kesopanan pun tak pernah ia hiraukan. Semua itu tak menghalangi Amen menikmati setiap waktunya dengan Bang Yanto. Baginya, Abangnya tetaplah Abangnya.
Ia tak tahu, mengapa Abangnya memanggil dia Amen. Orang bilang, ia hanya seorang bayi buangan yang ditemukan di pasar dalam sebuah kardus. Selanjutnya, ia hanya tahu Bang Yanto adalah kakak dan orang tuanya. Ia hidup dengan orang yang ia kenal sebagai satu-satunya penyelamat hidupnya.
Tak lama, datang seorang gadis kecil, merengek di sampingnya. Seorang gadis kecil berumur sekitar lima tahun. Tangisan si gadis kecil itu tak terlalu kencang, namun mampu meruntuhkan iba Amen.
Tak banyak kata yang terucap disela isak tangis yang tertahan, "Mas, aku pengen itu," jari kecilnya menunjuk pada susu siap saji di kotak pedagang asongan yang sedang berhenti menjajakan dagangannya.
Tanpa berpikir panjang lagi dikeluarkannya selembar uang dua ribuan. Dibelikannya sekotak susu kardus siap saji rasa stroberi. Sebentar kemudian reda tangis si gadis lima tahun.
Tetiba seorang wanita berpakaian lusuh menggandeng tangan anak kecil itu. Mengajaknya beranjak meninggalkan Amen yang masih menikmati hujan mengguyur badan jalan yang sepi di perempatan kota.
Diteruskannya menghisap puntung rokok di himpitan tangannya, dihabiskan sisa tembakau, dan dinikmatinya nikotin terakhir dari puntung rokok yang ternyata milik seorang waria, yang juga mangkal mencari puntung rokok dari saku binatang jalang, penjelajah malam, pencari kepuasan nafsu yang coba ditawarkan malam waktu itu.
"Kau belikan apa?" tanya Bang Yanto pelan, duduk di dekatnya.