Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Be Part of Me [Part 3: End]

18 November 2019   13:35 Diperbarui: 18 November 2019   13:37 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com

DIMAS

Kucari Alex saat kutinggal membukakan pintu untuk si pengantar pizza. Setelah aku kembali, di ruang tamu sudah tak ada orang. Mungkin Alex sudah pergi. 

Gawaiku berdering. Kulihat ada wajah cantik tertampak di monitor. Kupandangi wajah itu sebentar, baru kuangkat telepon dari wanita cantikku, Reni. Kami membut janji bertemu di cafeku. 

Untuk alasan apa pun, jika ku yang meminta, kapan pun dan dimana pun itu, aku akan selalu siap untukmu, cintaku,....

Di sebuah tikungan jalan, aku melihat sosok yang sangat kukenal. Dari kejauhan pun mataku masih mampu dengan jelas mengenali siapa gadis itu.

Ternyata benar dugaanku. Reni menunggu di sebuah halte bis yang tak jauh dari pasar induk, dengan menenteng sebuah helm.

"Ren, mau ke mana?" kubuka helm ku. Kulihat dia agak terkejut.

"Aku mau ke cafemu, Dim. Motorku tadi rusak di jalan. Aku bawa ke bengkel. Ini aku mau naik ojol," 

Hmmm, kesempatan bagiku untuk mengantarnya. 

"Mo bareng sama aku yuk. Kan memang kita setujuan?"

Kening Reni berkerut. Bola matanya memutar ke kiri dan ke kanan. Sebentar ia melihat ke arah motorku.

"Kenapa? Kamu takut naik motor ini?" godaku. Aku senang melihat wajahnya yang kebingungan. 

Sejak kecil aku senang semua ekspresi Reni. Selalu manis di mataku. Selalu mengagumkan. Semakin hari, ia semakin membuatku terpesona.

"Tahu ga. Ini sudah malam. Ga da bus yang bakal lewat sini. Dan ini dekat pasar induk. Sebentar lagi pasti banyak barang yang akan diturunkan. Ya, kalo hantu sih, ga ada. Kalo orang iseng, makin malam makin banyak tuh,"inilah aku dengan segala cara membujuknya untuk bersamaku.

Reni menggigit bibirnya sedikit. Aku merasakan kegelisahan dalam batinnya. Wajahnya berubah menjadi lebih serius.

"Kay...bener nih ga mau? Ya, aku sih cuma menawarkan,"aku sangat senang menggodanya.

"Tapi...aku...,"kata-katanya terhenti, pandangannya masih tertuju pada helm ditangannya, lalu diganti dengan raut muka ketakutan karena keisenganku.

Kupakai kembali helm q, kaca penutupnya kubuka, kunaiki kembali Ducati kesayanganku. Jelas saja tak mungkin kutinggalkan gadis cantik ini sendirian. Tapi menggodanya...sungguh menyenangkan.

"Dim, tunggu. Iya, aku mau ikut,"ujarnya setengah hati. 

Setengah hati atau tidak, yang penting kau sudah naik Ducatiku, sayang....

Kutarik kedua tangannya melingkar di pinggangku. Semula ia ragu. Kubiarkan motor melaju dengan kecepatan yang lebih tinggi, tentu saja tidak seperti motor matic Reni. 

Aku senang saat tangannya semakin erat melingkar di pinggangku. Pelan namun pasti ia sandarkan dagunya di bahuku. Dan kami menyibak malam bersama, berdua. 

Aku berharap, jalanan makin panjang, namun kami tetap harus berhenti di depan cafe.

Chocolate signature hangat kesukaan Reni sengaja kubuatkan sendiri untuknya. Sedang Long Black Coffee selalu jadi pilihanku. 

"Gimana, Ren. Nih proposal yang kemaren kamu ributin," kusesap sedikit kopi pilihanku yang kini semeja dengan coklat hangat Reni.

Reni terdiam saat itu. Sepertinya ada sesuatu yang membawanya pergi dari ruangan ini. Aku biarkan dia diam. Sementara kunikmati seluruh wajah cantiknya. Jemari Reni memegang cup coklat hangatnya. Sedang matanya kosong menatap cup berlabel Intuisi Cafe.

Lagu Fix You milik Coldplay mengalir lembut menghiasi ruangan cafe yang malam itu kebetulan belum banyak pengunjung. Sinar lampu yang temaram membuat wajah gadis di hadapanku semakin terlihat manis. Kutelan ludahku, aku tercekat saat kulihat sebutir air mata menetes dari mata indahnya.

Tidak, Ren. Aku tak akan membiarkan air mata itu turut hadir dan melenyapkan tawamu....tidak...

"Ren,"suara serak hampir tak terdengar keluar dari mulutku. Kuusap air mata yang mengalir deras di pipinya.

Kuraih cup coklat dari tangannya, kugenggam jemari Reni, seakan ingin kupindahkan seluruh energiku padanya. Pada jiwa yang saat ini terlihat rapuh di hadapanku. Pada jiwa yang selama ini menghampiriku dengan senyumnya dalam tiap harap dan lelahku.

"Dim...apa aku boleh meminjam bahumu sebentar?"ditengah isaknya, tubuh kecil itu akhirnya masuk dalam pelukanku.

Aku terdiam, jantungku mulai berdetak tak beraturan. Kucium harum wangi rambut Reni. Sungguh sempurna. Namun lebih dari itu, aku merasakan sesak yang membuncah dalam diri Reni. Tubuh kecil ini berguncang pelan. Aku tak mengerti mengapa ia menangis sehebat itu.

Perlahan ia lepaskan pelukanku. "Maafkan aku, Dim. Kau tahu, selama ini, aku menunggu kedatangan Alex. Dia pergi, saat kami belum menyelesaikan semua perdebatan kami. Dan tiba-tiba dia datang,....dan..."sejenak Reni berhenti bercerita. 

Lama aku menunggu Reni menghabiskan kalimatnya, namun ia berhenti begitu saja.

"Dan dia kembali lagi,"sahutku. Dua bola mata indah itu memandangku. "Apa kau masih mencintainya, Ren?" 

"Entahlah, Dim," Reni kembali memandang ke lantai cafe.

"Ren...dengar. Aku tak mengerti perasaanmu pada Alex. Tapi, perlu kamu tahu, aku mencintaimu, Ren,"oh, akhirnya kukatakan juga segala yang kupendam selama ini.

Reni tak tampak terkejut. Ya, mungkin ia tahu semua karena selama ini aku berusaha menunjukkan sikapku padanya. Ia memandangku sebentar, lalu kembali menundukkan kepalanya, menikmati coklat hangatku yang kini merasuki tubuhnya.

Apa pun itu, Ren. Aku akan terus memperjuangkan cinta ini. Aku tak akan perduli, siapa pun yang ada di hadapanku. Tapi, jika kau memilih masa laluku, maka aku pun akan mendukungmu....

Kudekatkan wajahku padanya, dan kucium pipinya yang lembut. Aku tak peduli ia akan menamparku atau tidak. Kulihat wajahnya menjadi cemberut, mulutnya mulai mengerucut, matanya membesar, kutinggalkan ia sendiri, dan aku berlalu ke arah meja barista membantu mereka yang sibuk melayani tamu.

Aku melihat dari jauh. Reni masih terdiam. Kemudian satu senyum simpul kulihat di wajahnya, dan kurasa aku menerima jawabanmu, Ren. Kau juga mencintai aku.....

RENI

Apa maksudnya? Ia menciumku lalu meninggalkanku. Manusia macam apa Dimas itu? Dasar tak tahu diri. Dan sekarang ia membiarkanku sendirian di sudut sofa ini. 

Sungguh menyebalkan. Rasanya aku ingin....menamparnya?

Dim...kau menciumku. Mengapa aku baru menyadarinya. Bodoh sekali kau ini, Reni...

Tapi, mengapa ada yang lain? Saat Alex dulu menciumku rasanya aku sangat marah. Aku gusar, dan aku menamparnya. Mengapa kali ini lain? Ada yang membuatku merasa lain. Mungkinkah ini cinta?

Aku merasakan wajahku menghangat. Mungkinkah memerah? Oh aku malu. Tidak. Ini tidak mungkin. Tapi, oh Tuhan, jantungku semakin berguncang. Apa yang terjadi? Aku jatuh cintakah?

"Hai,..."suara yang tak asing menghampiriku.

Aku mendongakkan kepalaku, dan menemukan Alex di hadapanku saat ini. Mood ku segera berubah. Aku meliriknya, duduk di sampingku, sementara aku tak bergeser atau bergerak sedikit pun.

Rasa jengah segera meliputiku. Sebentar-sebentar aku melihat Dimas yang sibuk melayani pelanggan bersama barista lain.

"Ren, tolong, aku ingin bicara,"ujarnya lembut.

Kupandangi cup coklat hangat yang ada di tanganku. Pikiranku entah melayang kemana. Dan aku tak mengerti mengapa Dimas tak duduk saja menemaniku di sini.

"Ada apa, Lex? Bukankah sudah kukatakan, semua sudah berakhir?"

"Kenapa, Ren? Apakah kau sudah menemukan yang baru?"

"Kalau iya, apa urusanmu? Bukankah kau pun bisa dengan mudah mendapatkan gadis lain di luar sana?"

"Tidak. Aku menunggumu. Aku berusaha menghubungimu, Ren. Aku ingin menjelaskan semua tentang malam saat aku bersama Chintya. Tapi kau tak pernah mau menerima teleponku. Bahkan saat aku pergi, aku tak bisa sedikit saja punya kesempatan untuk berpamitan padamu,"

Oh, tidak. Dia mulai lagi. Seluruh pembelaan diri, saat aku hanya harus menerima semua alasan-alasannya setelah meniduri wanita lain.

"Cukup, Alex. Aku sudah tak bisa lagi bersamamu. Tak usah lagi kita memperdebatkan apa yang tak perlu,"

"Aku tahu kau mencintai Dimas, Ren. Aku hanya ingin minta maaf, selama ini menyita waktumu untuk berada di sisiku. Tapi asal kamu tahu, Ren aku mencintaimu. Dan aku sangat meyakini itu."

"Itulah cinta, Lex. Itulah cinta,"hampir tak terdengar suaraku, tertelan air mata yang keluar, mengalir pelan, dan jatuh kembali di pipiku. 

"Maafkan aku membuatmu menunggu, Ren..."

"Tidak, Lex. Aku memang menunggumu, tapi itu semua terjadi karena kebodohanku," Alex menggenggam tanganku dan menaruhnya lekat di dadanya.

"Selama jantung ini masih terus berdetak, aku masih mencintaimu, Ren,"

Alex mencium tanganku lembut, jemarinya mengusap air mataku. Dan kubiarkan begitu saja.

"Ren, berjanjilah padaku. Apa pun yang terjadi, jangan menangis lagi. Aku yakin Dimas lebih mampu membuatmu tertawa dan memaknai cinta. Aku akan pergi. Dan kuminta, jika aku kembali, kalian berdua tetap menjaga cinta ini,"

Alex segera pergi setelah melihatku menganggukkan kepala, pelan, sekali, namun pasti.

Kulihat ia melangkah pergi menghampiri Dimas. Kubiarkan mereka berdua berbincang di ruang kerja Dimas.

ALEXANDER

Kutinggalkan Reni sendiri. Aku tahu ia kecewa padaku. Dan seberapa besar pun cintaku, tak mampu lagi membuatnya berubah pikiran. Ia sudah tak lagi mencintaiku. Aku harus menerima itu. Aku sadar, selama ini aku menyia-nyiakan kesempatanku bersamanya. 

Dan sungguh tak adil bila aku masih terus menuntutnya untuk bersamaku. Ia harus bahagia. 

"Terimakasih sudah meneleponku, Dim," aku duduk di depan Dimas. 

Aku tahu ada rasa yang tak enak dalam dada kami. Aku ingin ini diselesaikan sekarang juga.

Dimas memandangku. Kami diam tak tahu harus saling berkata apa. Aku tak mengerti mengapa atmosfer mendadak tak nyaman bagiku. Tapi apa mau dikata. Ini persahabatanku. Aku harus memperjuangkannya. 

Sama seperti Dimas yang telah menyelamatkan nyawaku saat aku kecelakaan beberapa waktu lalu dan membutuhkan transfusi darah. Darah Dimaslah yang membuatku masih tetap merasakan kehidupan hingga kini.

"Dim, sekarang giliranmu. Aku harus menyelesaikan urusanku. Besok aku harus ke Kalimantan. Papa membuka bisnis baru di sana. Ia ingin aku yang mengurusnya,"

"Secepat itu? Atau karena Reni?"tanya Dimas.

"Reni, aku mencintainya, kau tahu itu, Dim. Tapi dia sudah membuat keputusan. Dan aku menghargainya. Tak mungkin aku memaksanya terus bersamaku. Dan tak mungkin aku hidup bersama dengan wanita yang hatinya bukan milikku,"

Dimas tetap diam. Diambilnya nafas dalam-dalam. Diusapkannya telapak tangan ke wajahnya. Pandangannya segera beralih, menyapu seluruh ruang kerjanya. 

"Lalu kau akan pergi lagi?"

"Tolong, Dim, ini pilihanku. Aku minta padamu, jaga Reni. Aku bodoh tak menghargainya. Tapi aku tahu, aku yakin kau adalah satu-satunya orang yang mampu melakukannya.,"betapa berat aku mengatakannya. Seperti aku mengaku kalah dengan semua kenyataan ini. 

"Dim, aku akan kembali lagi, membawa cintaku, di luar sana ada sebuah hati yang menungguku. Meski aku tak tahu yang mana. Itu janjiku padamu, Dim. Pegang itu baik-baik."

Dimas tersenyum dan berkata,"Aku menunggumu, Lex. Aku dan Reni menunggumu,"ditepuknya pundakku dan dirangkulnya tubuhku, layaknya ia adalah saudaraku, kakak yang selalu membelaku.

"Dengar, Dim. Aku meninggalkan Reni sendiri. Kupikir, kau harus menemuinya sekarang," Dimas tersenyum lalu segera berlalu meninggalkanku sendiri di ruang itu. 

Ya, Dim...kejarlah mimpimu, kau berhak mendapatkannya. Kau yang berhak. Aku akan memastikannya.

EPILOG

RENI

Pagi ini tak seperti pagi yang lalu. Aku menyukainya. Sangat. Aku siap dengan segala hal. Di depan cermin aku melihat bayanganku. Setengah rapi. Setengah? Ya. Aku masih harus bersiap. Kebaya warna kuning gading masih menggantung di lemari kayu. 

Kubuka gorden jendela kamar, agar sinar matahari memasuki ruangan. Dan ternyata silaunya membangunkan tubuh lelaki Dimas yang masih menutup matanya rapat-rapat.

"Uuuhhh, menyebalkan. Tutup lagi dong, gordennya, honey..." ujarnya masih menutup mata.

"Kau yang harus bangun,"sahutku sambil mendekat padanya. Tiba-tiba tubuhku didekapnya.

"Tidak adil membangunkanku sepagi ini, Ratuku,"

"Tante Dewi sudah meneleponku, kita harus tiba di rumahnya segera. Lagipula ini juga karena Alex kan?"

" Ah, mereka pasti paham. Kita pengantin baru, kan,"tubuhku semakin erat dipeluknya. 

Hari ini pernikahan Alex dan Ryu. Dua pribadi yang dipertemukan secara ajaib oleh semesta, seperti kami berdua. 

"Pengantin baru? Kita sudah menikah lebih dari satu tahun ini, Dim. Dan kau masih saja manja," makin kudekatkan wajahku padanya. Dan satu ciuman lembut kuberikan pada bibirnya. Lalu satu ciuman menuntut datang dari Dimas. 

Dering telepon terdengar dari gawai Dimas. Ah, kami biarkan sesaat. Setelah beberapa kali berdering, akhirnya ia mengangkatnya.

"Dim, angkat pantatmu dari atas tempat tidur, dan cepat kemari," suara Alex terdengar jelas di seberang telepon.

"Lex, please..."Dimas masih merajuk.

Kurebut telepon genggam dari tangan Dimas, "Alex,kami akan ke sana sebentar lagi. Jangan kuatir," kututup telepon. "Mandi atau mereka yang akan menjemput paksa kita." kataku sambil kembali duduk di meja rias.

Pagi yang indah. Dan, aku tahu, menjadi bagian hidupnya bukanlah sebuah pilihan, melainkan kini menjadi jalan hidupku.

"I'll be your part,Dim. I'll be the part of your life..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun