"Kenapa? Kamu takut naik motor ini?" godaku. Aku senang melihat wajahnya yang kebingungan.Â
Sejak kecil aku senang semua ekspresi Reni. Selalu manis di mataku. Selalu mengagumkan. Semakin hari, ia semakin membuatku terpesona.
"Tahu ga. Ini sudah malam. Ga da bus yang bakal lewat sini. Dan ini dekat pasar induk. Sebentar lagi pasti banyak barang yang akan diturunkan. Ya, kalo hantu sih, ga ada. Kalo orang iseng, makin malam makin banyak tuh,"inilah aku dengan segala cara membujuknya untuk bersamaku.
Reni menggigit bibirnya sedikit. Aku merasakan kegelisahan dalam batinnya. Wajahnya berubah menjadi lebih serius.
"Kay...bener nih ga mau? Ya, aku sih cuma menawarkan,"aku sangat senang menggodanya.
"Tapi...aku...,"kata-katanya terhenti, pandangannya masih tertuju pada helm ditangannya, lalu diganti dengan raut muka ketakutan karena keisenganku.
Kupakai kembali helm q, kaca penutupnya kubuka, kunaiki kembali Ducati kesayanganku. Jelas saja tak mungkin kutinggalkan gadis cantik ini sendirian. Tapi menggodanya...sungguh menyenangkan.
"Dim, tunggu. Iya, aku mau ikut,"ujarnya setengah hati.Â
Setengah hati atau tidak, yang penting kau sudah naik Ducatiku, sayang....
Kutarik kedua tangannya melingkar di pinggangku. Semula ia ragu. Kubiarkan motor melaju dengan kecepatan yang lebih tinggi, tentu saja tidak seperti motor matic Reni.Â
Aku senang saat tangannya semakin erat melingkar di pinggangku. Pelan namun pasti ia sandarkan dagunya di bahuku. Dan kami menyibak malam bersama, berdua.Â