"Kamu tahu yang kukatakan pada polisi itu. Kalau ia mau tetap menahan Nala yang jelas terbukti bukan pemakai atau pun pengedar narkoba, maka aku pun harus mereka masukkan ke dalam bui. Karena aku adalah bapak yang tak mampu mendidik anakku sendiri.
"Kamu pasti juga bertanya-tanya mengapa aku ingin krama lagi?
"Kamu ingat Dimas? Cucu eyangmu yang di desa?"
"Inggih, Bapak," jawab Ndari pelan dalam balutan air matanya.
"Anak itu umurnya tinggal sebulan lagi, kan? Kanker otaknya sudah stadium 4. Keinginannya hanya satu. Ia ingin ibunya menikah dengan seorang laki-laki yang mau jadi bapaknya. Ia hanya ingin merasakan punya bapak.
"Siapa yang mau dengan ibunya yang wajahnya sebagian terbakar itu. Pulang dari Malaysia kan? Kerja jadi TKW, pulang dalam kondisi hamil, wajahnya kok malah jadi bopeng juga.
"Tapi karena aku rasa ibumu harus membalas budi pada eyangmu. Maka aku harus menikahinya. Coba, apa keluarga ibumu memberi sedikit saja harta mereka pada eyangmu, atau menjengukmu barang sebentar saja? Bahkan mereka menutup rapat-rapat segala hal tentang eyangmu. Orang yang telah berjasa mengasuhmu.
"Ibumu sudah setuju, walau aku tahu ini berat untuk kami. Tapi, ini jalan keluar yang terbaik, Ndari. Hanya sebulan dan ini sudah lewat beberapa hari. Semua agar kehormatan ibumu tetap terjaga. Aku harap mereka pun tak lagi memandangmu hina.
"Anak itu, Dimas sekarang di rumah sakit. Kemoterapi tak menjamin kankernya hilang. Kondisinya semakin lemah. Kalau kamu mau, lusa kita menjenguknya. Pasti ia senang punya kakak sepertimu, Ndari."
"Aku juga mau ke sana, Bapak,"sahut Nala yang tiba-tiba muncul dan memeluk kaki Pak Maman, membasahi sarung batik yang dipakai Pak Maman dengan uraian air matanya.
"Kalian ini mesthi kok nguping,"kata Pak Maman pelan.