"Bapak, bagaimana kondisi Ibu?"
"Baik. Kondisinya stabil. Itu mengapa aku lebih memilih untuk pulang. Aku minta Runi telepon ke rumah kalau ada yang penting. Kamu ingin bertemu Ibumu? Besok pagi, kita pergi ke sana.
"Ada yang perlu kamu tahu, ini bacalah. Surat ini ditulis nenekmu saat kamu datang ke sini,"Pak Maman segera memberi waktu Ndari untuk membaca, bahkan menitikkan air matanya
"Jadi...Bu Jannah itu...,"
"Ibumu. Iya. Dan kamu itu anakku. Aku tak perduli masa lalu ibumu. Aku menikahinya. Bukan menikahi masa lalunya. Aku Bapakmu dan dia Ibumu. Aku tak perduli darah siapa yang mengalir dalam dirimu. Anak ibumu adalah anakku.
"Ibumu wanita yang mulia. Ia lebih dahulu menerimaku seutuhnya. Ia tahu aku mandul. Tidak bisa memberinya keturunan. Tapi ia tetap mau mencintai aku. Ia mau menikahi aku. Padahal kalau dia mau, dia masih bisa memilih pria yang lebih menarik dan punya posisi lebih tinggi dari aku.Â
"Aku bisa menerima ibumu yang bukan lagi perawan saat ia menikah denganku. Aku tahu itu. Tapi bukan karena aku putus asa gara-gara aku mandul, atau karena rasa bersalahku, aku tak bisa menjaga ibumu, hingga ia bisa diperkosa orang bejat itu. Bukan karena itu.
"Aku menyukai ibumu. Wanita yang sempurna bagiku. Ketangguhannya, keluguannya, kesederhanaanya, dan semua yang ada padanya aku menyukainya."
Sundari diam meski dadanya sesak menahan haru. Ingin rasanya ia sujud di bawah kaki orang tua yang masih terlihat gagah ini. Seorang Bapak yang sejak kecil hanya ada dalam angan-angannya. Seorang Bapak yang ternyata lebih dari yang pernah ia impikan selama ini.
"Kamu mewarisi darah ibumu. Pertama kali aku bertemu, aku tahu betul bahwa memang kamu adalah anak Ibumu. Aku merasa lengkap. Seorang istri dan seorang anak gadis yang manis sepertimu.
"Tentu saja ada empat anak lagi yang harus aku urusi. Mereka pun anak-anakku. Sebagai bapak, aku pun harus mau maju bahkan saat anakku berbuat salah, aku juga ikut bersalah, karena aku tak bisa mendidik mereka dengan benar.Â