Pintu kamar Devi dibuka pelan, lalu ditutupnya erat. Seolah ia memastikan tak ada yang mendengar bahwa ia ada di dalam kamar Devi.
"Tolong dong, minyakin rambutku," pinta Nala lagi. Tanpa berkata-kata apa pun, Devi bangun dari rebahannya di atas tempat tidur. Dan Nala lebih memilih duduk bersila di lantai, sedang Devi duduk di atas tempat tidurnya.
"Dev, kamu tahu ga kalo Ibu itu, sebenarnya punya sakit jantung?Â
"Kamu tahu ga, beberapa hari ini aku ke mana aja?"
Devi tetap diam. Ia malas mendengarkan cerita Nala. Hanya saja, ia tak mungkin menolak permintaan tolong Nala.
"Saat Sundari datang pertama kali ke sini, tanpa sengaja aku membaca surat dari eyang nya Ndari buat Ibu. Dari situ aku tahu Ndari itu ternyata putrinya Ibu,"kembali Nala membuka perbincangan.
"Ya, bukannya kita semua juga anaknya Ibu? Apanya yang aneh?" jawab Devi.
"Ndari itu anak kandung Bu Jannah," tegas Nala. "Itu kenapa aku selalu membelanya saat kalian mengejek dia,
"Kamu ingat, dulu waktu kalian selalu memanggilnya 'Sun', aku ga ingin itu. Aku yang membelanya. Memang namanya Sundari. Tapi bukan berarti bahwa kita bisa memanggilnya dengan kata itu, karena kita ga minta dicium ama dia kan?"
Devi tetap tak menjawab. Meski sekarang ia merasa tertarik pada cerita gadis gempal itu.
"Bu Jannah waktu itu sudah tukar cincin, semacam peristiwa untuk memberitahu semua saudara dan para tetangga, bahwa Ibu sudah jadi milik Bapak.Â