Asrama itu bernama Asrama Putri. Dikenal seperti itu karena semua penghuninya adalah lima orang anak gadis yang lebih dikenal orang sebagai anak-anak mantan perwira TNI AL Sudarman Wiryopranoto.Â
Asrama yang ditinggali oleh Devi, seorang wanita cantik, cerdas, mandiri, meski terkesan acuh. Juga Nala, gadis bertubuh gempal yang dengan senyum dan sapa ramahnya mengundang siapa pun untuk selalu berdekatan dengannya. Ada pula Lyn, seorang gadis keturunan Tionghoa yang sangat cekatan dalam mengerjakan segala sesuatunya. Mulai dari cara makan sampai mengerjakan seluruh pekerjaan pasar Bu Jannah ia yang paling senang melakukannya.
Pula seorang Sundari. Gadis dari sebuah desa kecil tak punya orang tua. Hanya nenek yang semakin menua di desa. Ia pergi ke kota karena ada sebuah sanggar menari yang mau mempekerjakannya sebagai pengajar tari.Â
Selain itu, masih ada seorang Runi. Gadis pendiam yang bekerja di sebuah toko buku. Sehari-hari ia hanya berkutat dengan deretan buku dan sebuah headset yang selalu menempel di telinga layaknya kaca mata yang menempel terus di matanya.
Kejadian Selasa malam lalu membuat asrama menjadi berubah sepi. Seperti tak pernah ada kegiatan lain. Bu Jannah, istri Pak Maman tak lagi secerah dulu. Sudah dua hari ia lebih memilih tinggal di asrama dari pada di rumahnya sendiri.Â
Bu Jannah pun tak membuka kios pasarnya selama tiga hari ini. Mukanya muram. Setiap hari matanya terlihat sembab. Mbok Tum tak berani bertanya apa pun. Biasanya ia akan bertanya, "Masak apa hari ini, Bu?" Tapi ternyata Mbok Tum yang biasa dipanggil Budhe oleh para gadis asrama pun tak berani bertanya.
Seperti halnya Budhe yang tak pernah berani bertanya, Lyn pun tak berani membuka sapa. Namun ia tak tahan lagi.
Lyn ingin pergi kembali ke pasar. Ia ingin membuka kios pakaian batik milik Bu Jannah. Lyn telah terbiasa dengan suasana pasar yang ramai.Â
Gerobak mini yang ditarik Pakdhe Janto pemilik warung bakso langganannya, suara buruh tukang usung barang yang kadang membuat bising, Â Om Shiang tetangga kios Bu Jannah yang berjualan emas, sapaan Han Han, pemuda sederhana yang ikut berjualan kain korden milik keluarganya, dan selebihnya para pembeli di pasar yang seringkali menganggap Lyn sebagai Cici pemilik kios Bu Jannah.Â
Sungguh, kerinduan Lyn pada suasana pasar sangatlah memuncak. Lyn juga tak mengerti mengapa Bapak harus krama lagi. Menurutnya, Bu Jannah adalah sosok ibu yang paling tulus di seluruh dunianya. Baginya, Bu Jannah adalah sosok manusia anugerah Tuhan dalam hidupnya. Lyn adalah putri Bu Jannah yang tak lahir dari rahimnya, tetapi Lyn lahir dari ketulusan hati Bu Jannah.
Namun Lyn pagi itu memberanikan diri menemui wanita separuh baya yang ia anggap sebagai ibu kandungnya. Dihampirinya Bu Jannah di meja makan bulat sedang membaca sebuah tabloid wanita kesukaannya.
"Bu, Lyn mau tanya, boleh?"
"Ada apa, Lyn?"
"Bu, apa Lyn boleh urus pasar Ibu? Lyn sudah kangen pasar. Apa Ibu ga akan jualan lagi? Ibu di rumah ga pa pa. Biar Lyn yang jaga kios. Nanti uang hasil jualan pasti Lyn kasih semua ke Ibu. Apa Lyn boleh buka kios Ibu?"
Bu Jannah tak menjawab pertanyaan Lyn. Ia tersenyum padanya. Diusapnya rambut gadis bermata sipit itu dengan lembut.Â
"Lyn kangen pasar atau kangen Han Han?" ujar Bu Jannah lembut.
Lyn tak menjawab. Dalam hatinya ia sempat bertanya, bagaimana mungkin seseorang yang tersakiti hatinya, meradang karena duka, tetapi masih bisa bercanda.
"Besok Lyn dan Ibu pergi ke pasar, ya? Kita buka kiosnya. Nanti tolong bilang Pak Min Becak, suruh ngangkut semua barang dagangan kita. Ibu juga sudah bosan dengan diam di rumah terus, Lyn."
Jawaban Bu Jannah seakan meredakan gejolak rindu dalam batin Lyn. Senyum sederhana Bu Jannah pun kembali meneduhkan setiap hantaman kegelisahan yang memuncak dalam hati seorang Lyn. Dipeluknya erat Bu Jannah. Diciumnya pipi wanita tua di hadapannya.Â
"Lyn, kamu tahu ke mana Nala? Ibu cemas. Dua hari ini dia tak terlihat di rumah."
"Lyn ga tahu, Bu. Kak Nala....Kak Nala pergi. Sejak hari Selasa kemarin. Katanya mau siaran malam, tapi,..."
"Tapi apa?"
"Tapi Kak Nala sudah dua hari ini ga pulang, Bu,"
Jantung Bu Jannah seperti lepas dari tempatnya. Tak pernah terbayangkan olehnya putri gempal itu kini lepas darinya. Tidak. Kejadian dua puluh tahun lalu tak boleh terjadi lagi.Â
Waktu itu, pertama kali dalam hidup Bu Jannah, hadir seorang putri yang paling cantik dalam pandangannya. Rambut hitam yang memerah tak terurus itu seringkali diminyaki dengan ramuan tradisional yang ia buat sendiri. Racikan ibunya waktu dulu.
Gadis gempal itu dinamainya Nala. Setiap kali pulang dari pasar, Bu Jannah tak pernah lupa membelikannya oleh-oleh. Satu kue untuk Pak Maman, satu kue lagi untuk si putri gempal. Kemana pun pergi, gadis cilik itu selalu menjadi bahan cerita. Seolah Bu Jannah baru saja mendapat wahyu, semacam anugerah dari Tuhan.
Banyak orang berkata, Nala adalah anak temon, seorang yang ditemukan di jalan, lalu di angkat menjadi anak sendiri. Bu Jannah tak pernah memperdulikan apa pun yang dikatakan orang-orang. Yang penting sekarang ia punya anak. Ia punya momongan, yang penting ia merasa penting, karena diberi mandat oleh Tuhan untuk membesarkan seorang anak.
Hingga suatu saat ia harus berhenti dari berjualan. Nala hilang. Sepulang sekolah Pak Min Becak yang biasa menjemput Nala dari sekolah, terlambat menjemput. Nala hilang hampir satu minggu. Kejadian ini membuat semua orang termasuk Pak Maman berhari-hari tak pernah berhenti mencari Nala di setiap sudut kota.Â
Pihak berwajib sudah dihubungi, namun tak juga ada kabar baik, hingga Bu Jannah sakit dan harus dirawat di rumah sakit selama dua hari.Â
Sampai akhirnya, Nala ditemukan di sebuah stasiun kota, oleh seorang penjaga stasiun yang kemudian beritanya sempat masuk sebagai berita di surat kabar lokal setempat.
Sekarang untuk alasan apa Nala menghilang? Karena tak tahu jalan pulang? Bukankah Nala sudah menjadi gadis yang bertumbuh dewasa. Nala yang sekarang bukan Nala nya yang masih kecil dulu.Â
Lantas ke mana gadis gempal-nya itu pergi? Siapa sekarang yang harus ia hubungi? Suaminya yang sibuk dengan keinginannya sendiri, atau Pak Min Becak, mungkin ia tahu ke mana Nala pergi. Ah, konyol sekali.Â
"Ngiiiik," suara pagar terbuka.Â
Devi pulang. Tapi ia tak sendirian. Turun dari sebuah mobil bermerk mewah. Hitam mengkilap. Tak pernah Devi pulang diantar. Biasanya ia naik becak dari tempat kerjanya yang tak jauh dari rumah.
"Siapa dia, Devi? " tanya Bu Jannah.
"Mas Pram, Ibu," jawab Devi ragu.
"Pramono lagi? Kenapa kamu masih berhubungan dengan dia, to, Nduk. Bapak sama Ibu kan sudah bilang. Berhenti berhubungan dengan laki-laki yang sudah punya anak dua itu,"
Devi terdiam. Tak sepatah kata pun terucap untuk menyanggah segala marah dari Bu Jannah. Kepalanya tertunduk.Â
Ia tahu, sungguh ia tahu, ibu yang berdiri di hadapannya ini akan marah jika ia mengulang kembali hubungan asmara dengan bos besar koleganya itu. Tapi, entahlah. Ada rasa nyaman jika ia di dekat Pram. Bukan harta bendanya, bukan pemberian jam tam tangan mahal bermerk Gucci yang didapatnya secara cuma-cuma dari Pram.
Bukan kenyaman naik mobil mewah ber-AC milik Pram yang siap siaga mengantar dan menjemputnya kapan pun ia mau. Bukan pula setiap sepatu dan baju mahal oleh-oleh Pram, jika Pram pergi mengurusi bisnisnya di Australia. Bukan. Bukan itu semua.
Bagi Devi, cukuplah menikmati becak yang mengantar dan menjemputnya dari kantor. Cukuplah baginya mempunyai jam tangan yang ia beli dari mall kecil di kotanya. Cukuplah baginya dengan semua baju dan sepatunya.Â
Malahan ia lebih senang jika pulang membawakan martabak asin dan manis pesanan teman-teman asramanya. Ia lebih senang jika mereka bersama pergi ke taman kota, hanya untuk memberi makan kelinci dan kijang yang dibiarkan liar di sana.
Ia tahu, Ibu Jannah nya pasti akan terluka. Ia tahu semua ini pun tak ingin ia lakukan Tapi entahlah. Pram mampu memberikan rasa nyaman yang hilang. Hilang? Jika ada yang hilang, pasti ada yang pernah ia punyai. Tapi apa? Entahlah. Devi terbenam dalam segala kepenatan rasa kesal. Ya, ia sangat kesal. Ia harus mencari apa yang hilang, apa yang pernah ia miliki.
Runi dan Sundari saling berpandangan. Mereka mendengar kata-kata Bu Jannah yang cukup keras dari balik pintu kamar Sundari.Â
Kali ini Runi hanya memandangi buku National Geography yang sejak kemarin dibacanya tanpa henti. Sedang Sundari hanya mampu terdiam dengan baju-baju yang dilipatnya rapi, kemudian dimasukkan ke dalam almari kayu jati.
Tak berapa lama, terdengar jeritan dari ruang tamu. Sundari dan Runi bergegas keluar dan mendapatkan tubuh Bu Jannah lemas terkulai dalam pelukan Lyn.
Devi segera menelpon rumah sakit terdekat. Ia tak mau lagi berlambat-lambat. Ia tahu Bu Jannah harus mendapatkan perawatan medis segera. Secepatnya. Dan becak Pak Min bukan solusi yang tepat.
Sundari dan Runi tak mengerti apa yang harus mereka perbuat. Yang mereka tahu ini situasi yang sangat gawat.
Lyn menangis sambil memegang tubuh lemas Bu Jannah. Sementara Devi terus berusaha menghubungi ambulans. Â
"Coba telepon Bapak. Minta Bapak ke sini secepatnya,"seru Lyn di tengah kegugupannya.
Tak lama ambulans datang. Segera tubuh Bu Jannah dilarikan ke rumah sakit terdekat. Lyn dan Devi ikut serta. Sementara Runi dan Sundari masih tetap tinggal di asrama.Â
Sundari berusaha menghubungi Nala. Tetapi tak ada jawaban. Hanya dering nada tunggu yang panjang. Sundari sangat gelisah. Sungguh gelisah. Tak pernah ia segelisah ini. Ia hanya menggigit jari, berjalan mondar mandir ke samping kanan, lalu ke kiri, kemudian balik ke  kanan lagi.
Ia sangat mencemaskan Bu Jannah. Ia memang tak pernah mengerti mengapa Bu Jannah sangat baik padanya. Begitu baik hingga terkadang Nala dibuat cemburu. amun dibalik kecemburuan Nala, ia tak pernah memusuhi Sundari. Bahkan sejak kedatangan Sundari ke asrama, Nala sangat memperhatikannya, layaknya seorang kakak pada adiknya. Siapa pun yang mencoba mengganggu atau mengejeknya, meski itu hanya bercanda, Nala adalah orang yang pertama kali membelanya.
"Kriiiing" dering telepon membangunkan lamunannya.
"Ndari, sudah hubungi Bapak? Cepat hubungi Bapak. Kondisi ibu sudah kritis,"suara Lyn terdengar jelas di sebrang telepon.
"Ibu sakit apa, Mbak Lyn?" tanya Sundari polos.Â
"Cepat. Segera hubungi Bapak. Minta Bapak datang ke rumah sakit segera,"Â
Dan telepon terputus.
Dalam hitungan detik. Tiba-tiba telepon kembali berdering.Â
"Ibu ada?"suara Bapak di seberang telepon membuat Ndari terkejut.
"Bapak, anu, Ibu...ibu sakit. Bapak ditunggu di rumah sakit. Segera. Mbak Lyn bilang Ibu dalam kondisi kritis."
Telepon terputus. Sundari semakin cemas. Segala ketakutan semesta seakan membelenggunya. Namun ia hanya pasrah. Segala kepasrahan yang pernah eyang putrinya ajarkan.
Pasrah untuk menerima. Bukan untuk menuntut, bukan untuk memaksa. Pasrah untuk menerima, pasrah untuk berserah. Bukan untuk menyerah kalah.Â
*Solo, ketika kepasrahan itu mengalir, seperti sungai yang tak pernah kering, maka harapan pun tetap tumbuh, seperti tanaman di sekeliling aliran sungai tersebut. "Maaf, ternyata ini memang bersambung kembali.... :)"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H