Mohon tunggu...
Dhea Reyssent
Dhea Reyssent Mohon Tunggu... -

Biographical info is disable.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pernikahanku

12 Juli 2015   20:33 Diperbarui: 12 Juli 2015   20:33 1140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Halo, ini post pertama saya yang berupa cerita fiksi dengan genre hurt. Selamat membaca :)

---

Aku sangat mencintainya. Seperti dia mencintaiku. Kami adalah pasangan abadi yang tak terpisahkan.

20 Mei 2012. Pagi terindah yang pernah kurasakan. Langit tercerah yang pernah kulihat. Aku melangkahkan kakiku keluar dari toko bunga yang tak kalah indah dengan indahnya pagi ini. Sebuket mawar merah sudah ada dalam genggamanku. Harum. Aku menciumnya lagi dan lagi, tak sabar ingin memberikan buket bunga ini kepada wanita yang paling kucintai di dunia ini―setelah wanita yang kupanggil Ibu tentunya.

Aku mengeluarkan sebuah kotak merah kecil dari saku jasku. Benda kecil bersinar terpampang ketika aku membuka kotak itu. Tersenyum, hanya itu respon yang bisa kuberikan ketika aku melihat namaku dan kekasihku terukir indah di sana. Aku benar-benar tak sabar untuk bertemu dengannya, dan melihat senyumnya.

Ketidaksabaran ini membuat gambaran wajahnya terus berkeliaran di kepalaku. Dia adalah seorang wanita berambut panjang dan keriting gantung dengan warna blonde yang kontras dengan rambut merahku. Kulitnya putih, sama denganku. Bola matanya yang seperti jade begitu mempesona bola mata onyx milikku. Wanita dengan sosok yang begitu sempurna di mataku.

Aku berjalan santai sambil menikmati indahnya matahari pagi. Sepanjang mata memandang, hanya bangunan tua yang terlihat di kanan kiri jalan ini. Warnanya yang pucat membawakan suasana yang klasik bagi kota ini. Anak-anak bermain riang di pinggir jalan, sementara orang tua saling bertukar cerita tentang kehidupannya―dan kehidupan orang lain. Benar-benar kota yang klasik.

Aku menatap arlojiku, pukul 8.43. Masih ada 17 menit sebelum acara pernikahanku dimulai, dan gedung putih tua dengan 12 lantai itu sudah menunggu sekitar 500 meter di depanku.

20 Mei 2012. Pagi terindah yang pernah kurasakan. Langit tercerah yang pernah kulihat. Sampai seorang wanita berambut cokelat menyentuh pundakku dengan bersemangat.

"Judas!" seru wanita yang datang dari masa lalu. "Akhirnya aku bisa bertemu lagi denganmu!"

"Ada apa, Anna?" tanyaku dengan wajah datar.

"Aku… err… Kau, kenapa kau pergi dari rumah?" balas wanita yang mengenakan pakaian kantor itu.

"Bukan urusanmu, kurasa," jawabku tanpa melihat ke arahnya.

"Apa kau masih bersama wanita itu?" pertanyaan itu terlontar enteng dari bibirnya. Aku hanya mengangguk. "Apa lagi yang kau sukai dari dia? Dia sudah bukan apa-apa! Hanya orang bodoh yang mau menikah dengannya! Apa kau mau menikah dengan orang yang kondisinya seperti itu?"

"Berhenti mengejarku kalau begitu, Nona Annabelle," sahutku ketus. Kabar baiknya, sebuah taksi lewat dan aku memberhentikannya. "Berhenti mengejar pria bodoh yang mau menikah dengan kekasihnya," lanjutku sambil membuka pintu taksi.

"Kumohon berikan aku kesempatan! Aku akan memperbaiki semua kesalahanku! Aku berjanji akan menjadi seperti yang kauinginkan!" Anna menahanku agar tidak masuk ke dalam taksi. Tampaknya ia bolos mengantor hari ini.

"Dengar, jangan berubah demi orang yang kau cintai. Carilah orang yang menerimamu apa adanya." Aku menarik paksa tanganku dan masuk ke dalam taksi.

"Kalau begitu bagaimana caranya agar kau bisa memberiku kesempatan?!" Anna mulai lepas kendali. "Tidak bisakah kau menghargai perasaanku?!"

Aku mengabaikannya sambil berusaha menutup pintu, kemudian menyuruh supir taksi untuk segera melaju. Wanita itu―yang kuakui memang tak kalah cantik dengan kekasihku―berusaha membuka pintu taksi dan mengejar taksi yang kutumpangi sampai akhirnya ia berhenti karena lelah.

Annabelle. Ia sahabatku sejak SMP. Seorang sahabat yang memiliki perasaan lebih pada sahabatnya sendiri, dan memaksakan perasaan itu pada sahabatnya. Dan itu membuat persahabatan kami retak karena terlalu seringnya terjadi pertengkaran tentang pacarku.

Awalnya, ia senang mendengarkan isi hatiku tentang kekasihku. Tapi lama kelamaan, ia malah menjadi dengki dan cemburu. Hingga ia selalu berusaha membuatku berpisah dengan kekasihku itu.

Berbeda dengan Annabelle, kekasihku adalah seorang yang sabar dan rendah hati. Tak pernah aku melihatnya marah sekalipun. Ketika ia ingin marah, ia menangis dalam diam. Tak ingin orang lain tahu perasaannya. Meskipun tak lebih cantik dari Anna, aku lebih mencintai kekasihku ini. Ia memiliki senyum yang lemah lembut, dan cara tertawa yang terlihat sangat bahagia.

Tak sampai 5 menit, aku sampai di tempat tujuan. Aku turun dari taksi setelah membayar sang supir. Merapikan jasku, aku melangkah dengan pasti memasuki gedung apartment di hadapanku itu.

Ya, apartment. Gedung putih tua dengan 12 lantai, tempat pernikahanku akan berlangsung, adalah sebuah apartment. Sebuah apartment berukuran 4x6. Kecil? Ya. Lalu dimana para tamu undangan akan duduk? Tidak ada. Hanya ada kami berdua dalam prosesi pernikahan ini. Tidak ada tamu undangan sama sekali. Bukannya aku tidak mengundang siapapun, tapi bisa dibilang kalau kami 'kawin lari'.

Undangan sudah disebar sejak 2 minggu yang lalu. Semuanya sudah kusiapkan dengan rapi, dari gedung, undangan, gaun, sampai pembawa acara. Hanya saja, semua pihak keluarga membatalkan begitu saja rencana pernikahan kami karena suatu kondisi, tepat tiga hari yang lalu.

Dengan tegas aku tidak menyetujuinya.

Bisa dikatakan Anna memiliki pengaruh dalam hal pembatalan pernikahanku ini.

Aku kabur dengan calon istriku ke luar kota dengan membawa uang tabungan hasil kerjaku selama 4 tahun terakhir. Kemudian aku menyewa apartment mungil ini dengan rencana menikah dan hidup bahagia selama-lamanya.

Sekarang aku sudah tidak peduli lagi, apakah keluarga kami akan datang atau tidak. Itu sudah tidak penting lagi sekarang. Aku tidak bisa menuruti orang tuaku dengan membatalkan rencana yang sudah kubuat dari jauh-jauh hari. Komitmen dan janjiku untuk menikahinya di hari jadi kami yang ke 7 juga tak bisa kupatahkan begitu saja.

Tidak semudah itu…

Senyumnya adalah bahagiaku. Dan bahagianya adalah tanggung jawabku. Air matanya adalah dukaku. Dan dukanya adalah kegagalanku. Dan aku tidak boleh gagal.

Aku berjalan menuju lift. Sepi. Tidak ada siapa-siapa di dalam lift. Detak jantungku bertambah cepat dua kali lipat. Darah di dalam tubuhku berdesir kencang, membuat pipiku yang pucat memerah. Lantai 7, kamar nomor 703. Akhirnya aku sampai di depan kamarku. Membuka pintunya, aku melihat ke sekeliling. Ruangan ini masih tampak rapi, sama seperti sebelum aku meninggalkannya. Tanpa membuka sepatu pantofel putihku, aku melangkahkan kakiku ke dalam ruangan itu.

Aroma jasmine begitu pekat dalam apartment ini. Mungkin parfum yang digunakan oleh kekasihku itu. Cat putih yang melekat di dinding membuat ruangan ini terasa terang. Ruangan ini masih kosong, hanya ada cermin yang menggantung di dinding sebelah kiri, dan sebuah televisi di sisi seberangnya.

Tanganku basah. Gugup. Aku melihat pantulan wajahku di cermin besar itu. Setelan jas dan celana putih dengan kaus hitam turtleneck, serta sebuket mawar dalam genggaman tanganku. Sudah rapi. Rambut merah belah pinggirku juga sudah rapi. Dengan langkah pasti, aku berjalan ke ujung ruangan, ke arah pintu yang membawaku ke balkon.

Terlihat seorang wanita dengan balutan gaun pengantin sederhana berwarna putih sedang duduk di balkon, menghadap ke arah jalanan. Aku menghampirinya, memberikan mawar yang sedari tadi kugenggam. "Mawar cantik, untuk yang paling cantik."

Kemudian aku mengeluarkan sebuah kotak merah kecil dari saku jasku, mengambil sepasang cincin bermata berlian dari dalamnya. Aku menyematkan cincin berukiran nama "Adilisia" di jari manis kananku, dan cincin berukiran nama "Judas" di jari manis kanannya. Senyum tipis tergaris di wajahnya yang pucat.

"Adilisia, mulai sekarang aku adalah suamimu, dan kau adalah istriku. Aku sangat mencintaimu, seperti kau mencintaiku. Aku akan selalu menjagamu, dan setia bersamamu dalam suka dan duka. Aku akan selalu besertamu, bahkan hingga nafas terakhirku."

Aku tersenyum puas dengan mata berkaca-kaca. Meskipun hanya dengan saksi bisu, kami adalah suami istri sekarang. Ia tak merespon, mungkin terlalu bahagia. Aku mencium keningnya, kemudian memeluknya. Sampai akhirnya pintu apartmentku terbuka…

Ah… Annabelle lagi…

"Judas," sebuah suara yang sudah sering kudengar selama 26 tahun ini memanggilku, "ayo kita pulang, nak."

Oh, jadi ia kesini hanya untuk membawa orang tuaku?

"Baiklah, tapi bawa Addie pulang juga," jawabku pada seorang ibu berambut putih itu. Ibuku.

"Sampai kapan kau mau menyuntikkan formalin pada tubuh anakku? Ia sudah harus dikubur!" Seorang ibu berambut putih lainnya angkat suara.

"Dikubur? Sampai kapanpun, aku tak akan membiarkannya dikubur," sahutku tegas.

"Judas, kumohon relakan kepergian Addie!" Kali ini si wanita dari masa lalu yang bersuara. Merengek lebih tepatnya. "Hargai perasaanku, Judas!"

"Dengar, Addie sekarang sudah resmi menjadi istriku. Aku sangat mencintainya, seperti dia mencintaiku. Kami adalah pasangan abadi yang tak terpisahkan. Tak ada yang dapat memisahkan kami, bahkan mautpun tidak."

…

Undangan sudah disebar sejak 2 minggu yang lalu. Semuanya sudah kusiapkan dengan rapi, dari gedung, undangan, gaun, sampai pembawa acara. Hanya saja, semua pihak keluarga tiba-tiba membatalkan begitu saja rencana pernikahan kami, tepat tiga hari yang lalu.

Hari itu, Adilisia―atau panggil saja Addie―jatuh dari anak tangga paling atas. Tubuhnya terguling sampai ke bawah, kepalanya membentur anak-anak tangga dan lantai dengan keras. Kondisinya juga kurang sehat waktu itu, ia lelah karena sibuk mengurus pernikahan kami.

Ibunya langsung menghubungiku dengan suara panik, dan membuatku ikut panik. Kami membawa Addie ke rumah sakit, dan dokter mengatakan bahwa tengkorak kepalanya pecah, yang mengakibatkan terjepitnya pembuluh darah atau apalah, aku tidak mengerti dengan jelas.

Bisa dikatakan Anna memiliki pengaruh dalam hal pembatalan pernikahanku ini.

Pihak rumah sakit pemuja uang tidak ingin melakukan tindakan sebelum adanya uang muka untuk jaminan. Keluargaku dan Addie tidak memiliki simpanan uang lagi, semuanya sudah diinvestasikan untuk biaya pernikahan. Satu-satunya orang yang bisa kupinjam uangnya adalah… Anna…

Alasan yang ia berikan untuk tidak meminjamkan uang terlalu banyak. Padahal satu-satunya alasannya adalah, karena ia tidak menyukai Addie. Akhirnya aku beralih pada pihak event organizer yang mengurus pernikahanku. Tapi semuanya terlambat. Setelah koma selama 3 jam, Adilisia pergi…

Sedih… hanya itu yang dapat kurasakan. Bagaimana tidak? Kekasihmu meninggal tiga hari sebelum kalian menikah, dan setelah kalian berpacaran selama 7 tahun. Terlalu miriskah? Kalian bayangkan saja sendiri bagaimana rasanya bila menjadi aku.

Berita tentang meninggalnya Addie langsung menyebar kepada kerabat kami. Otomatis keluarga kami menyatakan bahwa pernikahan kami dibatalkan. Namun, sebelum sempat dibawa ke rumah duka, aku membawa kabur Addie ke tempat ini.

Apapun yang terjadi, aku tetap ingin menikah dengan Addie. Aku tak peduli jika ia sudah tak bernyawa lagi. Mungkin memang ada aturannya, tetapi sampai saat ini, aku belum pernah mendengar aturan tentang larangan menikah dengan orang yang sudah mati.

Tidak. Adilisia tidak mati. Ia hanya tak bernyawa. Bagiku, ia masih tetap Adilisia yang hidup. Ia akan selalu hidup di dalam hatiku. Dan ia akan hidup dengan bahagia bersamaku. Bukan sampai maut memisahkan kita. Tapi sampai selamanya.

…

"Bawa saja dia ke rumah sakit jiwa," ujar suara berat yang kukenali sebagai suara ayah mertuaku.

"Aku tidak perlu ke rumah sakit jiwa. Aku merasa masih seratus persen waras," sahutku.

Ibuku keluar dari apartmentku untuk menangisi aku. Kemudian ibu mertuaku menyusulnya.

"Tidak ada orang waras yang menikahi mayat!" Sekarang giliran ayahku yang ikut menghakimiku. Bahkan orang tuaku sudah menganggap aku gila.

"Aku mengenalmu lebih lama daripada dia, Judas! Sekarang Addie sudah pergi, sudah tak mungkin lagi untuk menikahi dia!" Anna merengek lagi. "Kau tidak bisa terlarut dalam kesedihan sampai seperti ini! Masih ada aku! Aku tidak akan pernah meninggalkanmu!"

"Sudahlah, tidak apa kalau kalian sudah tak ingin menerimaku sebagai keluarga kalian. Cukup tinggalkan aku dan Addie saja disini. Jangan khawatirkan kami."

Perdebatan singkat terjadi.

Sampai perdebatan itu sudah tidak bisa didebatkan lagi.

Kemudian kedua ayah itu menyeretku…

…

Silau sekali ketika Judas mengerjapkan matanya. Cahaya lampu menyakiti matanya. Dan pria itu langsung menyadari dimana ia berada ketika ia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.

Rumah Sakit Jiwa.

Hanya orang gila yang mengirim orang waras sepertiku ke dalam rumah sakit jiwa. Sebegitu inginkah mereka mengubur jasad Addie sampai mengirimku kesini? Batin Judas yang masih merasa waras.

Kepedihannya terhadap kematian Addie membuat sesuatu yang tidak masuk akal menjadi masuk akal baginya. Menurutnya, wajar saja orang menikah dengan sebuah jasad tak bernyawa. Kalau ada orang yang menikah dengan menara eiffel―benda yang sudah jelas benda mati―mengapa orang yang menikah dengan orang yang baru saja mati tidak diperkenankan?

Sekarang, Judas sedang memikirkan suatu rencana baru. Keluar dari tempat hina ini, kemudian mencari 'istrinya', lalu hidup berdua dan berbahagia. Selamanya.

END OF STORY

A/N: Mohon kritik dan saran jika berkenan. :)

picture source: http://www.thehotelcollection.co.uk/hotels/walton-hall-warwickshire/weddings/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun