Tanganku basah. Gugup. Aku melihat pantulan wajahku di cermin besar itu. Setelan jas dan celana putih dengan kaus hitam turtleneck, serta sebuket mawar dalam genggaman tanganku. Sudah rapi. Rambut merah belah pinggirku juga sudah rapi. Dengan langkah pasti, aku berjalan ke ujung ruangan, ke arah pintu yang membawaku ke balkon.
Terlihat seorang wanita dengan balutan gaun pengantin sederhana berwarna putih sedang duduk di balkon, menghadap ke arah jalanan. Aku menghampirinya, memberikan mawar yang sedari tadi kugenggam. "Mawar cantik, untuk yang paling cantik."
Kemudian aku mengeluarkan sebuah kotak merah kecil dari saku jasku, mengambil sepasang cincin bermata berlian dari dalamnya. Aku menyematkan cincin berukiran nama "Adilisia" di jari manis kananku, dan cincin berukiran nama "Judas" di jari manis kanannya. Senyum tipis tergaris di wajahnya yang pucat.
"Adilisia, mulai sekarang aku adalah suamimu, dan kau adalah istriku. Aku sangat mencintaimu, seperti kau mencintaiku. Aku akan selalu menjagamu, dan setia bersamamu dalam suka dan duka. Aku akan selalu besertamu, bahkan hingga nafas terakhirku."
Aku tersenyum puas dengan mata berkaca-kaca. Meskipun hanya dengan saksi bisu, kami adalah suami istri sekarang. Ia tak merespon, mungkin terlalu bahagia. Aku mencium keningnya, kemudian memeluknya. Sampai akhirnya pintu apartmentku terbuka…
Ah… Annabelle lagi…
"Judas," sebuah suara yang sudah sering kudengar selama 26 tahun ini memanggilku, "ayo kita pulang, nak."
Oh, jadi ia kesini hanya untuk membawa orang tuaku?
"Baiklah, tapi bawa Addie pulang juga," jawabku pada seorang ibu berambut putih itu. Ibuku.
"Sampai kapan kau mau menyuntikkan formalin pada tubuh anakku? Ia sudah harus dikubur!" Seorang ibu berambut putih lainnya angkat suara.
"Dikubur? Sampai kapanpun, aku tak akan membiarkannya dikubur," sahutku tegas.