Mohon tunggu...
Dhe Wie S
Dhe Wie S Mohon Tunggu... Penulis - Kang Baca Tulis

personal simple

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kinasihan

14 September 2023   14:56 Diperbarui: 14 September 2023   15:09 1807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

" , , , , ...."

"Ma, apa bacaan ini harus selalu dibaca kalo aku lagi bercermin?" tanya Laras padaku.

"Iya Nak, supaya kamu disenangi sama orang-orang di luar sana, kalo orang sudah melihat kamu, mereka akan punya rasa suka dan sebagai pelindung diri kamu juga Ras," sahutku

Sejak bayi dia sudah dibekali jampi-jampi dari Nenek Buyutnya. Ibuku percaya, jampi itu akan membuat Larasti menjadi seorang perempuan yang akan dicintai siapa saja, dan disayangi banyak orang.

itu memang sudah turun-temurun dilakukan di dalam keluarga besarku. Kang Danis tidak setuju sebenarnya, bahkan merasa risih atas apa yang keluargaku lakukan kalau sudah menyangkut soal itu.

Kami memang masih mempercayai segala mitos, terlebih tentang memberikan bagi anak yang baru lahir. Setelah beranjak dewasa pun terkadang masih saja disuapi hal semacam itu, layaknya mantra. Larasati yang kini sudah beranjak tiga belas tahun pun sudah kuberikan secarik kertas yang harus di bacanya. Itu aku dapatkan dari Neneknya, Ibuku.

***

Dulu ketika Laras baru lahir, Nenek Buyutnya langsung menggendong Laras lalu mulutnya komat-kamit layaknya sedang mengucap mantra. Entah apa yang dibacanya. Ketika aku bertanya, kata Nenek bacaan itu untuk perlindungan diri Larasati.

Nenek buyutku ternyata memberikan juga pada anak-anaknya. Awalnya aku hanya menganggap angin lalu, tapi setelah aku melihat dan mendengar secara langsung, bagaimana Nina begitu disukai banyak lelaki membuatku mempercayai keampuhan itu.

Tanteku, Nina usianya hanya terpaut satu tahun lebih tua dariku. Sejak sekolah menengah atas banyak lelaki yang mendekatinya dan tidak jarang ada yang suka memberinya uang, barang-barang bahkan sampai ada yang memberikannya mobil dengan cuma-cuma.

Aku memang dekat dengan adik ibuku, ke mana pun Nina pergi, aku suka diajaknya. Saat Nina sudah bekerja, dia pernah berjanji, jika ada yang memberikan mobil, maka aku akan diberikannya sebuah motor. Hal itu terjadi, motor yang Nina miliki diberikannya padaku karena teman lelakinya memberikan dia mobil.

Aku pernah mendengar dari Dewa, temanku, yang pernah aku kenalkan pada Nina. Dewa bilang padaku, saat melihat dan bertemu Nina entah kenapa pikiran dan hatinya selalu saja ingin memberikan sesuatu padanya. Semenjak saat itu, aku pun ingin membekali putriku dengan .

"Ma, nggak usah pakai begituan, nggak baik. Pasti akan ada sebab dan akibatnya nanti. Anak-anak cukup bekali dengan ilmu agama dan juga adab yang baik kalau ingin di sukai orang," ucap Kang Danis.

"Iya, ilmu agama penting, aku juga tahu, Kang. Hanya saja biar Laras nggak ada yang benci," balasku tidak mau kalah.

"Pokoknya, Akang nggak mau, ya, Laras dibekali hal seperti itu." Kang Danis mengultimatum.

***
Usia Laras kini sudah menginjak lima belas tahun. Akan tetapi akhir-akhir ini, ada yang berbeda dari Laras. Entah apa yang terjadi pada anakku, sehingga membuatku menjadi khawatir yang berlebih.

Aku mulai sering memergoki Laras sering melamun, ketika sedang menonton televisi pandangannya memang tertuju pada layar persegi panjang yang terpasang di dinding, namun binar matanya terlihat kosong.

Emosinya semakin hari semakin tidak terkendali. Mudah marah dan mudah tersinggung. Rasa malas pun semakin menjadi. Terlebih saat ku suruh untuk mengerjakan salat.

"Laras, sudah dong jangan main hape terus. Bantu Ibu melipat baju bersih ini, biar nanti disetrikanya nggak susah," pintaku.

"Nanti aja, Ma. Sebentar lagi." Laras menjawab dengan malas.

Di lain waktu, "Nak, sudah azan Asar, salat dulu, yuk, berjamaah sama Mama,"

"Mama aja duluan, Laras lagi kerjain PR dulu nih, tanggung bentar lagi selesai," jawabnya.

Belakangan ini pun, beberapa kali Laras pulang sekolah di bonceng dengan lelaki. Hampir tiap hari berganti. Ketika aku bertanya dijawabnya dengan datar, "Teman, Ma. Dia maksa ingin antar aku pulang."

Ketika aku bertanya lagi kenapa beda orang yang mengantar, dengan jawaban yang sama selalu aku dapatkan.

Esoknya. Bu Ita datang ke rumahku untuk mengadu perihal kejadian di sekolah. Tomi anaknya, sempat bertengkar dengan Dika karena memperebutkan perhatian Laras. Tomi berselisih tentang siapa yang pantas untuk jadi pacar Laras, katanya.

Suguhan teh hangat beserta kue kering di meja pun tidak dicolek sedikit pun oleh Bu Ita. Emosi yang ditumpahkannya membuatku merasa tidak enak hati. Setelah Bu Ita pergi, aku pun langsung bertanya pada Laras.

"Apa betul kemarin di sekolah ada yang bertengkar? Dan itu gara-gara Laras?" selidikku.

"Eh, iya Ma. Nggak tahu tuh Tomi kayak cemburu gitu kalau aku dekat sama Dika, Ma," jawabnya.

"Memangnya Laras pacaran sama Dika?"

"Nggak, aku cuma lagi dekat aja. Soalnya Dika baik, selalu aja traktir aku kalau jam istirahat." Laras akhirnya bercerita.

"Kemarin itu, tiba-tiba Tomi datang nyamperin meja aku, dan bilang kalau Tomi suka sama aku. Nggak lama Dika datang langsung mencengkal tangan Tomi, Ma. Dika bilang kalau aku pacarnya, ya sudah akhirnya ramai, di komporin juga sama teman-teman, terus mereka di panggil ke TU," paparnya lagi.

"Laras, kamu masih SMP kelas tiga, loh. Nggak usah dulu dekat-dekat sama cowok, usahain kumpulnya sama cewek aja. Ya sudah Laras mandi dan salat Asar dulu," pintaku padanya.

"Iya, Ma."

Satu jam sudah apa yang aku suruh tidak digubrisnya. Aku lihat dia masih sibuk dengan ponsel sambil senyum-senyum di atas kasur busanya. Helaan napas panjang yang bisa aku lakukan jika sudah begitu, karena jika aku ulangi perintah itu, bisa dipastikan Laras akan kesal, lalu membanting pintu kamarnya.

***
Kertas berisikan yang dulu aku berikan pada Laras, aku temukan di laci meja belajarnya. Membuatku mengambil keputusan untuk membakar kertas itu. Karena, Laras semakin hari semakin sulit diatur.

Aku terlalu takut untuk mengadu pada Kang Danis perihal . Hingga satu malam, Kang Danis menginterogasiku. Karena, sore harinya Kang Danis memergoki Laras sedang berkumpul di Kafe Simpang Jalan, dekat gang menuju rumah kami. Dia bersama tiga lelaki, dan perempuannya hanya dua orang saja, katanya.

Kang Danis pun menyeret Laras pulang, karena saat berkumpul masih berseragam sekolah, yang hari itu sudah mendekati waktu salat Magrib.

"Aku nggak tahu, Kang. Kalau Laras ada kumpul di kafe, soalnya izin sama aku pulang sekolah mau kerja kelompok di rumah Lela. Ya sudah aku izinkan dan aku perintahkan jam empat sore sudah pulang," jawabku dengan suara getar.

Laras di marahi Ayahnya, dan aku merasa bersalah pada Laras. Aku pun akhirnya berterus-terang pada Kang Danis, kalau aku memang sudah kewalahan menghadapi Laras yang susah sekali diatur semenjak kelas dua SMP.

"Ma, tahun depan, kan, anak kita lulus SMP. Akang akan masukkan Laras ke pesantren aja, kebetulan akang dapat rekomendasi pesantren yang bagus untuk akhwat." Kang Danis sudah mengambil keputusan. Setiap keputusan yang sudah di ucapkannya, aku tidak bisa membantah.

"Iya, Kang. Terserah Akang, aja. Aku minta maap dan mudah-mudahan ini jalan terbaik buat Laras."

"Aamiin. Ingat, ya, Ma. Jangan jadikan Pesantren tempat mencetak anak yang nakal jadi baik, lalu kita hanya menerima bersihnya saja. Tetap harus ada campur tangan dari kita, orang tuanya." Kang Danis memberikanku pemahaman lebih.

Laras yang awalnya menolak untuk di pesantrenkan setelah lulus SMP, akhirnya menerima keputusan ayahnya. Karena, pada dasarnya Larasati anak yang lebih patuh pada ayahnya.

Aku berusaha untuk tidak lagi percaya pada perihal jampi itu. Aku tidak ingin mengulanginya pada calon adik Laras yang enam bulan lagi akan lahir. Walaupun aku harus berhadapan dengan Nenek dan juga Ibu nanti.

***wassalam***

Kinasihan: Jampi/mantra
Akhwat: perempuan/wanita

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun