Satu jam sudah apa yang aku suruh tidak digubrisnya. Aku lihat dia masih sibuk dengan ponsel sambil senyum-senyum di atas kasur busanya. Helaan napas panjang yang bisa aku lakukan jika sudah begitu, karena jika aku ulangi perintah itu, bisa dipastikan Laras akan kesal, lalu membanting pintu kamarnya.
***
Kertas berisikan yang dulu aku berikan pada Laras, aku temukan di laci meja belajarnya. Membuatku mengambil keputusan untuk membakar kertas itu. Karena, Laras semakin hari semakin sulit diatur.
Aku terlalu takut untuk mengadu pada Kang Danis perihal . Hingga satu malam, Kang Danis menginterogasiku. Karena, sore harinya Kang Danis memergoki Laras sedang berkumpul di Kafe Simpang Jalan, dekat gang menuju rumah kami. Dia bersama tiga lelaki, dan perempuannya hanya dua orang saja, katanya.
Kang Danis pun menyeret Laras pulang, karena saat berkumpul masih berseragam sekolah, yang hari itu sudah mendekati waktu salat Magrib.
"Aku nggak tahu, Kang. Kalau Laras ada kumpul di kafe, soalnya izin sama aku pulang sekolah mau kerja kelompok di rumah Lela. Ya sudah aku izinkan dan aku perintahkan jam empat sore sudah pulang," jawabku dengan suara getar.
Laras di marahi Ayahnya, dan aku merasa bersalah pada Laras. Aku pun akhirnya berterus-terang pada Kang Danis, kalau aku memang sudah kewalahan menghadapi Laras yang susah sekali diatur semenjak kelas dua SMP.
"Ma, tahun depan, kan, anak kita lulus SMP. Akang akan masukkan Laras ke pesantren aja, kebetulan akang dapat rekomendasi pesantren yang bagus untuk akhwat." Kang Danis sudah mengambil keputusan. Setiap keputusan yang sudah di ucapkannya, aku tidak bisa membantah.
"Iya, Kang. Terserah Akang, aja. Aku minta maap dan mudah-mudahan ini jalan terbaik buat Laras."
"Aamiin. Ingat, ya, Ma. Jangan jadikan Pesantren tempat mencetak anak yang nakal jadi baik, lalu kita hanya menerima bersihnya saja. Tetap harus ada campur tangan dari kita, orang tuanya." Kang Danis memberikanku pemahaman lebih.
Laras yang awalnya menolak untuk di pesantrenkan setelah lulus SMP, akhirnya menerima keputusan ayahnya. Karena, pada dasarnya Larasati anak yang lebih patuh pada ayahnya.
Aku berusaha untuk tidak lagi percaya pada perihal jampi itu. Aku tidak ingin mengulanginya pada calon adik Laras yang enam bulan lagi akan lahir. Walaupun aku harus berhadapan dengan Nenek dan juga Ibu nanti.