"Rumahku...., di sini." Jawabnya sangat pelan dan disertai senyum malunya yang khas.
Rumahnya di sini?. Di mana?. Kan ini warung nasi rames dan aku hanya pesan teh. Dan.... Penjual sudah pulang. Bukankah tadi penjual pamit tutup warung ya. Aku tadi bayar sama Mama untuk dua teh. Apa dia ibu atau nenek si penjual kali ya. Ah.. Mungkin saja.
"Monggo, saya pamit." Katanya sambil berdiri. Tapi dia sulit berdiri karena sudah renta dan sangat bungkuk. Aku spontan menolongnya.
Aroma melati itu menyengat sekali saat ini. Parfumnya mantap ini nenek. Dia berlalu ke belakang warung dan lenyap. Baiklah, aku panggil ibuku kali ini. Waktunya pulang.
Kembali kami bersepeda pulang, dengan jalanan yang lurus dan sedikit menanjak. Tentu ini makin bikin capek betis dan paha. Begitu ngos-ngosan hingga kami saling terdiam sampai tiba di rumah.
Tiba di rumah kami segera mandi dan duduk di depan TV.
"Mau teh lagi?." Goda ibuku yang nampaknya mulai tahu pikiranku.
"Yoi deh."
Teh panas kental gula batu menemani kami dalam menyimak acara debat politik di TV.
"Nda..., Mama tadi kok ngrasa aneh..., ya nggak sih?." kata Ibuku.
"Aneh apa, Ma?."
"Nenek-nenek yang bawa kayu bakar. Yang kamu kasih makanan tadi."