"Gampang lah, Ma. Ntar juga habis."
Kami menuju warung sederhana yang menyediakan makanan rumahan. Cukup jauh letaknya dari tepi pantai. Tidak apa-apa. Setidaknya bisa lihat sunset dari jauh. Kami memesan teh panas dua gelas dengan gula batu.
"Wah, teh di desa sini mantap ya. Kayak ada rasa sepat pahit gitu. Tapi juga ada aroma melatinya. Wuihhh mantap banget ini." Kata Ibuku sambil membau asap panas dari teh.
"Ma, itu ada nenek tua banget bawa kayu bakar. Kasihan banget lihatnya." Kataku pada Ibuku.
Entah dari mana nenek itu tiba-tiba saja lewat di depan warung dengan jalan yang agak lambat. Pakaian kemeja SD lusuh dengan jarik yang dipakai seadanya. Juga rambut yang hanya dicepol asal-asalan. Kulit sawo matang yang berkilau.
Kemungkinan seharian dia ada di area ini. Kayu bakar itu, di punggungnya, membuat dia membungkuk yang nampak berbeban berat. Aku menatap cukup lama. Membayangkan diri ini menjadi sepertinya. Iba yang dalam dan sedikit pilu rasanya.
"Kasihan ya, keluarganya ke mana ya?." Kata Ibu. Rupanya Ibu juga memperhatikannya.
"Mana tau lah, Ma." Aku masih menatapnya. Dan tak berapa lama, ia duduk di batu besar. Mungkin dia lelah. Dan ia pun membalas tatapanku dengan wajah lelah.
"Kamu kasih aja deh makanan bekal kita ini ke dia. Pasti dia senang. Cukuplah untuk bikin kenyang. Sukur-sukur keluarganya juga ikut makan." Pinta Ibuku.
Aku lalu membawa makanan dan pergi menyerahkan padanya semua bekal makanan jalan-jalan soreku.
"Mbah, ini ada makanan dari saya. Terima ya." Sapaku dengan senyum ramah.
Dia tidak menyahutku. Hanya senyum tipis dan mengangguk pelan. Makhlum aku orang asing baginya. Dia menerima makanan dariku, dan aku langsung meninggalkannya menuju warung semula.
Kembali aku duduk berhadapan dengan Ibuku. Seketika kami menatap kembali arah si nenek itu, tapi ia sudah lenyap. Mungkin baginya sudah cukup rejeki hari ini. Aku da ibuku kembali tersenyum lega, berbagi kebaikan senja hari.