Untuk mengenang itu semua, melalui Keputusan Direktur Dirjen Pajak Nomor KEP-313/PJ/2017 Tentang Penetapan Hari Pajak, seluruh pegawai Ditjen Pajak diminta memperingati tanggal 14 Juli sebagai Hari Pajak. Selain upacara bendera, kegiatan-kegiatan lain yang dapat dilakukan para pegawai Ditjen Pajak meliputi: kegiatan olahraga, kegiatan seni, kegiatan sosial, atau kegiatan lain yang dapat meningkatkan rasa kebanggaan terhadap tanah air Indonesia serta institusi Ditjen Pajak, menguatkan rasa kebersamaan antar pegawai, serta memberi nilai manfaat bagi para pemangku kepentingan.
Untuk menumbuhkan rasa kebanggaan pada tanah air serta institusi Ditjen Pajak ini, mungkin kita perlu menelusuri perjalanan panjang pajak hingga berhasil menampilkan wajahnya yang bersahabat seperti sekarang ini. Agar masyarakat luar tahu bahwa untuk mengubah wajah pajak yang seperti sekarang ini, tak seperti membalikkan telapak tangan. Ada pergulatan di dalamnya.
Agar juga peringatan Hari Pajak tak sekadar seremonial belaka, kita perlu napak tilas ke belakang sejenak melihat rupa pajak di zaman kolonial dulu yang penuh dengan kekerasan dan akhirnya menyulut pertumpahan darah.
Wajah Pajak Zaman Kolonial Dulu
Dalam bukunya yang berjudul Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa, Peter Carey menggambarkan bagaimana kondisi masyarakat di pesisir Jawa dan Kasultanan Yogyakarta hingga akhirnya menyulut meletusnya Perang Jawa (1825-1830).
Perang yang digambarkan sebagai perang terhebat di Nusantara ini dipicu akumulasi berbagai faktor. Di antaranya adalah kesalahan praktik pajak gerbang tol (gerbang/pos penarikan pajak di perjalanan) yang akhirnya menimbulkan gejolak sosial dan membuat kesengsaraan bertahun-tahun.
Pajak gerbang tol pertama yang diterapkan Raja Keraton Kasultanan Yogyakarta, ternyata terinspirasi dari VOC. Sebelumnya VOC berhasil menerapkan sistem pemungutan pajak di pantai utara jawa secara efektif.
Usai perjanjian Giyanti bulan Februari 1755, Hamengkubuwono 1 menandatangani kontrak penyewaan pemungut pajak pertama untuk gerbang-gerbang tol di area kekuasaannya (1755-1764). Dengan seorang Kapitan Cina daerah Mataram sebagai kaki tangannya yang bernama To In. Tugasnya menarik pajak gerbang tol.
Berapa puluh tahun kemudian, cukai atas gerbang tol dan pasar telah mencapai 40 persen dari pendapatan kerajaan.
Di sisi lain sang kaki tangan (kelompok Tianghoa) yang bertindak sebagai penyewa utama gerbang tol mampu mengantongi keuntungan sampai seperempat dari pemungutan pajak kepada sultan.
Tak bisa dipungkiri bahwa golongan ini dimanfaatkan sebagai perantara sekaligus mesin pencetak uang baik oleh raja maupun penguasa kolonial sejak dulu.