Mohon tunggu...
Dewi Damayanti
Dewi Damayanti Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger

Musim boleh berganti, namun menulis tak mengenal musim. Dengan goresan tintamu, kau ikut mewarnai musim.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pajak, Riwayatmu Dulu dan Kini

9 Juli 2018   10:40 Diperbarui: 9 Juli 2018   18:29 2349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk mengenang itu semua, melalui Keputusan Direktur Dirjen Pajak Nomor KEP-313/PJ/2017 Tentang Penetapan Hari Pajak, seluruh pegawai Ditjen Pajak diminta memperingati tanggal 14 Juli sebagai Hari Pajak. Selain upacara bendera, kegiatan-kegiatan lain yang dapat dilakukan para pegawai Ditjen Pajak meliputi: kegiatan olahraga, kegiatan seni, kegiatan sosial, atau kegiatan lain yang dapat meningkatkan rasa kebanggaan terhadap tanah air Indonesia serta institusi Ditjen Pajak, menguatkan rasa kebersamaan antar pegawai, serta memberi nilai manfaat bagi para pemangku kepentingan.

Untuk menumbuhkan rasa kebanggaan pada tanah air serta institusi Ditjen Pajak ini, mungkin kita perlu menelusuri perjalanan panjang pajak hingga berhasil menampilkan wajahnya yang bersahabat seperti sekarang ini. Agar masyarakat luar tahu bahwa untuk mengubah wajah pajak yang seperti sekarang ini, tak seperti membalikkan telapak tangan. Ada pergulatan di dalamnya.

Agar juga peringatan Hari Pajak tak sekadar seremonial belaka, kita perlu napak tilas ke belakang sejenak melihat rupa pajak di zaman kolonial dulu yang penuh dengan kekerasan dan akhirnya menyulut pertumpahan darah.

Wajah Pajak Zaman Kolonial Dulu

Dalam bukunya yang berjudul Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa, Peter Carey menggambarkan bagaimana kondisi masyarakat di pesisir Jawa dan Kasultanan Yogyakarta hingga akhirnya menyulut meletusnya Perang Jawa (1825-1830).

Perang yang digambarkan sebagai perang terhebat di Nusantara ini dipicu akumulasi berbagai faktor. Di antaranya adalah kesalahan praktik pajak gerbang tol (gerbang/pos penarikan pajak di perjalanan) yang akhirnya menimbulkan gejolak sosial dan membuat kesengsaraan bertahun-tahun.

Pajak gerbang tol pertama yang diterapkan Raja Keraton Kasultanan Yogyakarta, ternyata terinspirasi dari VOC. Sebelumnya VOC berhasil menerapkan sistem pemungutan pajak di pantai utara jawa secara efektif.

Usai perjanjian Giyanti bulan Februari 1755, Hamengkubuwono 1 menandatangani kontrak penyewaan pemungut pajak pertama untuk gerbang-gerbang tol di area kekuasaannya (1755-1764). Dengan seorang Kapitan Cina daerah Mataram sebagai kaki tangannya yang bernama To In. Tugasnya menarik pajak gerbang tol.

Berapa puluh tahun kemudian, cukai atas gerbang tol dan pasar telah mencapai 40 persen dari pendapatan kerajaan.

Di sisi lain sang kaki tangan (kelompok Tianghoa) yang bertindak sebagai penyewa utama gerbang tol mampu mengantongi keuntungan sampai seperempat dari pemungutan pajak kepada sultan.

Tak bisa dipungkiri bahwa golongan ini dimanfaatkan sebagai perantara sekaligus mesin pencetak uang baik oleh raja maupun penguasa kolonial sejak dulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun