Mohon tunggu...
Dewi Damayanti
Dewi Damayanti Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger

Musim boleh berganti, namun menulis tak mengenal musim. Dengan goresan tintamu, kau ikut mewarnai musim.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pajak, Riwayatmu Dulu dan Kini

9 Juli 2018   10:40 Diperbarui: 9 Juli 2018   18:29 2349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indonesia Zaman kolonial (Sumber: galena.co.id/)

Saat Thomas Raffles  berkuasa (1811-1816) semua gerbang tol dan pasar harus diserahkan pada pemerintah Eropa, dan langsung disewakan kepada kelompok Tianghoa. Pengambilalihan pengelolaan pajak ini merupakan dampak keberhasilan militer Inggris terhadap Yogyakarta.

Ini juga menjadi bibit timbulnya pemungutan pajak yang semakin ekploitatif terhadap rakyat, menggunakan cara-cara yang semakin parah dan kejam.

Masa Raffles berakhir (1816), Belanda berkuasa kembali dan meneruskan kebijakan sebelumnya untuk mengisi kekosongan dana mereka.

Lalu lintas dan aktivitas niaga terganggu karena Belanda menerapkan cukai pada semua aktivitas pengangkutan hasil bumi, baik di darat ataupun di sungai.

Kehidupan rakyat semakin susah sebab cukai dikenakan pada semua kebutuhan pokok sehari-hari. Beban cukai jalan yang berat itu harus dipikul dengan beban yang lain juga. Sistem pajak ini bukan saja memberatkan, juga menimbulkan penindasan. Hak memungut cukai jalan ternyata bisa digadaikan, dan orang yang menerima gadai itu lagi-lagi kelompok Tianghoa.

Silau akan hasil besar yang diperoleh dari cukai gerbang ini, Belanda menambah jumlah cukai gerbang ini dalam bentuk pos gerbang yang lebih kecil, yang disebut rangkah. Jika di tahun 1812 ada 34 gerbang cukai yang didirikan, maka pada tahun 1821 di Yogyakarta terdapat 187 pasar kecil. Kelak pengurusan gerbang tol oleh Belanda menyulut keresahan sosial di pedesaan semakin panas.

Tahun 1823 pemerintah Belanda mengeluarkan regulasi tentang kewajiban pencatatan cukai gerbang tol dan standarisasi atas pembayarannya.

Namun anjuran ini  tak  bergigi, karena cukai yang dikenakan kepada para pedagang seringkali lebih tinggi dibandingkan harga barang dagangan mereka. Ironisnya, di sebuah gerbang tol kerap terjadi petani harus merelakan barang dagangannya diambil paksa karena tak sanggup membayar cukai.

Menjelang meletusnya perang Jawa, gerbang tol ditemukan hampir di setiap jalan masuk ke kampung dan dusun kecil di Jawa. Harga komoditi yang tinggi pada tahun-tahun antara 1821-1825 menyulap Yogyakarta menjadi wilayah meletusnya gejolak sosial.  

Memasuki detik-detik pecahnya perang Jawa, pedesaan di Jawa makin tak aman. Akumulasi dari berbagai faktor seperti pajak tanah, gagal panen, wabah kolera 1821, dan gerbang tol cukai telah mengubah Jawa menjadi tong mesiu. Pangeran Diponegoro tampil memimpin tuntutan rakyat atas pembaharuan akibat kemerosotan ekonomi dan aneka pajak yang mencekik leher. Perang pun pecah.

Betapa besar perbedaan antara pajak yang diterapkan pada zaman kolonial dulu dengan pascakemerdekaan kini. Tak ubahnya bumi dengan langit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun