Mohon tunggu...
Dewi Damayanti
Dewi Damayanti Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger

Musim boleh berganti, namun menulis tak mengenal musim. Dengan goresan tintamu, kau ikut mewarnai musim.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pajak, Riwayatmu Dulu dan Kini

9 Juli 2018   10:40 Diperbarui: 9 Juli 2018   18:29 2349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indonesia Zaman kolonial (Sumber: galena.co.id/)

Seorang sejarawan Yunani yang lahir di Halikarnassos, Karia (Turki modern), dan dikenal sebagai Bapak Sejarah Dunia Herodotus, pernah menyatakan bahwa sejarah ialah suatu kajian untuk menceritakan suatu perputaran jatuh bangunnya seorang tokoh, masyarakat, dan peradaban.

Pajak adalah sejarah itu sendiri.

Apa yang terbersit dalam pikiran Anda saat menatap sang saka merah putih berkibar di angkasa dalam rangka mengikuti upacara bendera memperingati sebuah peristiwa bersejarah? Terharu? Bahkan mungkin Anda akan bangga setelah tahu ada cerita yang penuh semangat patriotisme mengawalinya.

Karena itu agar kita dapat memaknai lebih peringatan Hari Pajak yang akan jatuh pada 14 Juli 2018 yang akan datang, kita sebaiknya mempelajari sejarah lahirnya Hari Pajak itu sendiri.

Pajak lahir di Indonesia seiring dengan lahirnya negara Republik Indonesia sendiri. Pascakemerdekaan, pajak telah berhasil membangun wajah Indonesia menjadi lebih semringah. Kini merupakan hal yang jamak menemukan fasilitas publik yang sehari-hari kita nikmati adalah dibangun dari uang pajak.

Jika Anda melakukan perjalanan lewat udara dan menemukan banyak bandar udara baru bermunculan dengan faslitas sesuai standar internasional, maka itu dibangun dari uang pajak. Jika salah satu anggota keluarga Anda sakit dan kesulitan biaya, kemudian dengan BPJS Anda dibebaskan dari biaya, itu karena hadirnya pajak. Belum lagi fasilitas pendidikan gratis dari tingkat SD sampai dengan SMA yang mengupayakan naiknya tingkat literasi penduduk Indonesia, itu pun karena pajak.

Begitu banyak fasilitas dan infrastruktur yang dibangun lewat uang pajak jika harus disebutkan satu persatu. Pajak telah menjadi tulang punggung pembangunan nasional saat ini. Bisa dilihat dari persentase penerimaan pajak dalam APBN yang mencapai lebih dari 80 persen kini.

Tanggal 14 Juli 1945, 73 tahun yang lalu adalah tonggak sejarah lahirnya pajak. Itu pertama kalinya kata "pajak" disebut oleh ketua Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Radjiman Wediodiningrat dalam sebuah sidang panitia kecil soal 'keuangan".

Kala itu BPUPKI masih dalam  masa reses setelah pidato terkenal  Soekarno dibacakan pada 1 Juni 1945 yang dikenal sebagai hari lahir Pancasila .

Selama masa reses antara tanggal 2 Juni sampai dengan 9 Juli 1945 itulah BPUPKI mencetuskan usulan-usulan anggotanya yang meliputi masalah, yaitu: Indonesia merdeka selekas-lekasnya, Dasar Negara, bentuk negara uni atau federal, daerah negara Indonesia, Badan Perwakilan Rakyat, Badan Penasihat, bentuk negara dan kepala negara, soal pembelaan, dan soal keuangan.

Dalam "soal keuangan" Rajiman dari lima usulannya pada butir keempat menyebut, "Pemungutan pajak harus diatur hukum". Legalisasi pajak sendiri kemudian dituangkan  dalam Rancangan UUD Kedua yang disampaikan pada 14 Juli 1945. Pada bab VII Hal Keuangan-Pasal 23 butir kedua menyebutkan: "Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang"

Untuk mengenang itu semua, melalui Keputusan Direktur Dirjen Pajak Nomor KEP-313/PJ/2017 Tentang Penetapan Hari Pajak, seluruh pegawai Ditjen Pajak diminta memperingati tanggal 14 Juli sebagai Hari Pajak. Selain upacara bendera, kegiatan-kegiatan lain yang dapat dilakukan para pegawai Ditjen Pajak meliputi: kegiatan olahraga, kegiatan seni, kegiatan sosial, atau kegiatan lain yang dapat meningkatkan rasa kebanggaan terhadap tanah air Indonesia serta institusi Ditjen Pajak, menguatkan rasa kebersamaan antar pegawai, serta memberi nilai manfaat bagi para pemangku kepentingan.

Untuk menumbuhkan rasa kebanggaan pada tanah air serta institusi Ditjen Pajak ini, mungkin kita perlu menelusuri perjalanan panjang pajak hingga berhasil menampilkan wajahnya yang bersahabat seperti sekarang ini. Agar masyarakat luar tahu bahwa untuk mengubah wajah pajak yang seperti sekarang ini, tak seperti membalikkan telapak tangan. Ada pergulatan di dalamnya.

Agar juga peringatan Hari Pajak tak sekadar seremonial belaka, kita perlu napak tilas ke belakang sejenak melihat rupa pajak di zaman kolonial dulu yang penuh dengan kekerasan dan akhirnya menyulut pertumpahan darah.

Wajah Pajak Zaman Kolonial Dulu

Dalam bukunya yang berjudul Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa, Peter Carey menggambarkan bagaimana kondisi masyarakat di pesisir Jawa dan Kasultanan Yogyakarta hingga akhirnya menyulut meletusnya Perang Jawa (1825-1830).

Perang yang digambarkan sebagai perang terhebat di Nusantara ini dipicu akumulasi berbagai faktor. Di antaranya adalah kesalahan praktik pajak gerbang tol (gerbang/pos penarikan pajak di perjalanan) yang akhirnya menimbulkan gejolak sosial dan membuat kesengsaraan bertahun-tahun.

Pajak gerbang tol pertama yang diterapkan Raja Keraton Kasultanan Yogyakarta, ternyata terinspirasi dari VOC. Sebelumnya VOC berhasil menerapkan sistem pemungutan pajak di pantai utara jawa secara efektif.

Usai perjanjian Giyanti bulan Februari 1755, Hamengkubuwono 1 menandatangani kontrak penyewaan pemungut pajak pertama untuk gerbang-gerbang tol di area kekuasaannya (1755-1764). Dengan seorang Kapitan Cina daerah Mataram sebagai kaki tangannya yang bernama To In. Tugasnya menarik pajak gerbang tol.

Berapa puluh tahun kemudian, cukai atas gerbang tol dan pasar telah mencapai 40 persen dari pendapatan kerajaan.

Di sisi lain sang kaki tangan (kelompok Tianghoa) yang bertindak sebagai penyewa utama gerbang tol mampu mengantongi keuntungan sampai seperempat dari pemungutan pajak kepada sultan.

Tak bisa dipungkiri bahwa golongan ini dimanfaatkan sebagai perantara sekaligus mesin pencetak uang baik oleh raja maupun penguasa kolonial sejak dulu.

Saat Thomas Raffles  berkuasa (1811-1816) semua gerbang tol dan pasar harus diserahkan pada pemerintah Eropa, dan langsung disewakan kepada kelompok Tianghoa. Pengambilalihan pengelolaan pajak ini merupakan dampak keberhasilan militer Inggris terhadap Yogyakarta.

Ini juga menjadi bibit timbulnya pemungutan pajak yang semakin ekploitatif terhadap rakyat, menggunakan cara-cara yang semakin parah dan kejam.

Masa Raffles berakhir (1816), Belanda berkuasa kembali dan meneruskan kebijakan sebelumnya untuk mengisi kekosongan dana mereka.

Lalu lintas dan aktivitas niaga terganggu karena Belanda menerapkan cukai pada semua aktivitas pengangkutan hasil bumi, baik di darat ataupun di sungai.

Kehidupan rakyat semakin susah sebab cukai dikenakan pada semua kebutuhan pokok sehari-hari. Beban cukai jalan yang berat itu harus dipikul dengan beban yang lain juga. Sistem pajak ini bukan saja memberatkan, juga menimbulkan penindasan. Hak memungut cukai jalan ternyata bisa digadaikan, dan orang yang menerima gadai itu lagi-lagi kelompok Tianghoa.

Silau akan hasil besar yang diperoleh dari cukai gerbang ini, Belanda menambah jumlah cukai gerbang ini dalam bentuk pos gerbang yang lebih kecil, yang disebut rangkah. Jika di tahun 1812 ada 34 gerbang cukai yang didirikan, maka pada tahun 1821 di Yogyakarta terdapat 187 pasar kecil. Kelak pengurusan gerbang tol oleh Belanda menyulut keresahan sosial di pedesaan semakin panas.

Tahun 1823 pemerintah Belanda mengeluarkan regulasi tentang kewajiban pencatatan cukai gerbang tol dan standarisasi atas pembayarannya.

Namun anjuran ini  tak  bergigi, karena cukai yang dikenakan kepada para pedagang seringkali lebih tinggi dibandingkan harga barang dagangan mereka. Ironisnya, di sebuah gerbang tol kerap terjadi petani harus merelakan barang dagangannya diambil paksa karena tak sanggup membayar cukai.

Menjelang meletusnya perang Jawa, gerbang tol ditemukan hampir di setiap jalan masuk ke kampung dan dusun kecil di Jawa. Harga komoditi yang tinggi pada tahun-tahun antara 1821-1825 menyulap Yogyakarta menjadi wilayah meletusnya gejolak sosial.  

Memasuki detik-detik pecahnya perang Jawa, pedesaan di Jawa makin tak aman. Akumulasi dari berbagai faktor seperti pajak tanah, gagal panen, wabah kolera 1821, dan gerbang tol cukai telah mengubah Jawa menjadi tong mesiu. Pangeran Diponegoro tampil memimpin tuntutan rakyat atas pembaharuan akibat kemerosotan ekonomi dan aneka pajak yang mencekik leher. Perang pun pecah.

Betapa besar perbedaan antara pajak yang diterapkan pada zaman kolonial dulu dengan pascakemerdekaan kini. Tak ubahnya bumi dengan langit.

Dulu pajak digunakan sebagai alat untuk mengekploitasi kaum pribumi demi kepentingan penjajah dan kaki tangannya, kini pajak sebagai instrumen untuk mencapai kesejahteraan bersama.

Legalisasi atas pajak yang ditetapkan sejak 14 Juli 1945 semakin membuka mata kita bahwa tak ada lagi ekploitasi dalam pemungutan pajak kini, karena semua di atur dengan Undang-Undang dan hasilnya dikembalikan untuk kemakmuran rakyat.

Bersama kita tatap sang saka merah putih yang berkibar di angkasa pada 14 Juli nanti dengan penuh hikmat sebagai refleksi rasa syukur kita atas wajah pajak yang makin berkeadilan kini.

***

Tulisan ini pernah tayang di situs resmi Direoktorat Jenderal Pajak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun