Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Katla dan Proyeksi Astral

23 November 2021   23:54 Diperbarui: 24 November 2021   00:00 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Katla membuka jendela kamarnya. Di luar langit masih gelap. Namun, suara burung terdengar bersahutan. Mereka seolah-olah menyambut hari baru.

Katla beruntung kosannya berada di lingkungan yang masih banyak pepohonan rindang. Udara segar masih bisa dinikmatinya meskipun masih berada di bilangan Jakarta.

Meski teman-temannya menakut-nakuti banyak pepohonan bisa berarti ada ancaman penampakan penampakan, Katla tak peduli. Untungnya Katla tak pernah menjumpainya. Atau pengalamannya beberapa bulan lalu bisa masuk hitungan?

Katla menggerakkan badannya. Tu..wa...ga...pat. Ia mulai melakukan pemanasan. Selama pandemi badan harus tetap fit. Katla yang aslinya pemalas, terdorong oleh pengalamannya enam bulan lalu, memaksakan dirinya untuk bergaya hidup sehat.

Seperti pagi ini sarapan Katla ada pisang ambon dan jus kombinasi apel dan buah bit. Plus telur rebus.

Sambil menyantap hidangan sarapannya, Katla mengeluarkan buku catatannya. Buku yang menyimpan seluruh kisah kehidupan Katla.

Ia masih rajin menulis di buku, bukan mengetik di layar laptop. Kebiasaan ini sudah dimulainya sekian lampau. Kini buku catatan yang dimulainya per 2020 ini tinggal sekitar belasan halaman lagi yang belum terisi.

Kata Mama, menulis dengan tangan itu olah raga otak. Membuat otot tangannya tetap terlatih dan menyimpan memori lebih kuat daripada mengetik via papan keyboard. Katla mempercayai kata-kata Mama. Ia tetap menulis diary di buku lalu memotret isinya sebagai inisiatif cadangan.

Waktunya menulis diary.

Ketika hendak mencari halaman yang kosong, tangannya menyibak halaman catatan pada bulan November 2020. Bulan itu. Bulan di mana hidupnya berubah. Emosinya sempak naik turun seperti roller coaster. Katla tercenung.

Tiba-tiba bunyi reminder membuyarkan lamunannya. Ada jadwal sharing session dan progress report pukul 10.00 hari ini.

Ia tiba-tiba merasa panik. Ia belum memeriksa kembali presentasinya. Baju kerja belum disiapkannya.

Oh iya hari ini kan mulai kerja dari rumah alias WFH lagi. Katla menepuk dahinya.

Semalam, sekitar pukul 19.00 pihak HRD memberikan pesan ke semua pegawai bahwa mulai besok semua pekerjaan dilakukan di rumah. Kantor sementara kosong, hanya pak satpam yang bergantian bertugas. Daerah tempat Katla bekerja masih masuk zona merah dan kasus Covid semakin menanjak belakangan ini.

Ehmm Katla jadi ingin menelpon sohibnya, Anna.

- - -

Bunyi panggilan membangunkan paksa Anna. Ia bersyukur bunyi itu membebaskan dirinya dari mimpi buruknya.

Tapi ia kemudian marah-marah melihat jarum jam belum menunjukkan pukul enam pagi. Ia jarang bangun sebelum pukul tujuh pagi karena jarak kosan ke kantornya begitu dekat.

Siapa sih yang mengganggu waktu tidurnya. Ia melihat nama di layar. Katla.

Duh ada apa sih nih anak, pagi-pagi sudah nelpon!

"Ya, halo!"

Anna menjawab dengan lesu. Otaknya belum sepenuhnya terkumpul.

Kebalikan dari Anna, energi Katla sepertinya sudah capai 90 persen. Nada bicaranya meledak-ledak seperti Katla yang lagi semangat.

Katla menyebutkan acara sharing session hari ini yang membuat Anna makin lesu. Ooh aku ingin hari ini hari Sabtu saja, keluh Anna.

Lalu Katla mengalihkan pembicaraan ke soal kasus Covid dan WFH. Anna ingin mencubit kawannya. Sengaja nih Katla, pasti sengaja nih anak biar aku terbangun. Mengapa tidak ngobrol via aplikasi chatting saja.

"Duh kasus Covid mengganas lagi ya?!" "Untungnya kantor kita WFH lagi. Aku sudah deg-degan nih!"

Nada bicara Katla sepertinya menunjukkan kelegaan.

"Kamu kan sudah pernah kena, Kat! Aman dong, sudah kebal! Kita-kita ini nih yang cemas bila ke kantor. Divisi kita kan ruangannya terbatas. Meski cuma 50 persen yang datang, ya rawan juga sih sebenarnya," jawab Anna panjang lebar.

"Ihhh kata siapa yang sudah pernah Covid itu lantas kebal. Tuh di berita ada yang sampai kena berulang!"

Intonasi bicara Katka meninggi, ia sepertinya kesal dengan kata-kata Anna. Seharusnya aku yang kesal masih mengantuk, eh ditelpon pagi-pagi hanya obrolin ini, keluh Anna.

"Lagian siapa sih yang ingin kena virus ini. Aku saja kapok. Nggak enak banget, asli!" Lanjut Katla sambil menggeleng-gelengkan kepala seolah-olah Anna ada di depannya.

"Ya iyalah siapa yang mau. Kamu sih waktu itu mau-mau saja nemani Keke dan Rara ke resto makan steak," goda Anna. "Mana penuh lagi tempat makannya, kan?!"

"Super duper nyesal!" Aku nggak tahu tempatnya seramai itu. Kan masa pandemi, kok dibiarkan saja tempatnya penuh", Katla berdalih.

"Tapi setelah lihat tempatnya penuh, aku batal kok. Apesnya aku doang yang kena. Keke dan Rara yang tetap antri makan di situ, malah nggak kenapa-kenapa," Katla lanjut mengeluarkan jurus pembelaannya.

"Yeee..Kamu tetap salah, masih suka keluyuran saat pandemi begini. Bisa jadi waktu itu Kamu sudah nggak fit!"

Anna jadi melek. Ia tak lagi mengantuk. Ia suka menggoda Katla. Temannya ini mudah dipanasi.

"Sudah deh. Kapok. Aku beneran kapok. Aku sudah nggak ke mana-mana, kecuali ke kantor. Belanja pun sekarang online tinggal bayar pakai kartu debit, beres," Katla seolah-olah berjanji ke temannya sambil memijit-mijit kepalanya melangkah ke sana ke sini.

Obrolan mereka kemudian terputus oleh rutinitas masing-masing. Anna jadi mengantuk lagi. Ia mengambil selimut dan memasang alarm pukul 08.30. Masih ada waktu sebelum pertemuan online nanti.

- - -

Katla sejak pernah mengidap Covid beberapa bulan lalu berjanji ke dirinya sendiri untuk hidup sehat. Ia tidur lebih awal dan bangun pagi. Berolah raga dan juga makan hidangan sehat.

Ia mengolah masakannya sendiri. Meski kamar kosannya tergolong tidak luas, isinya lumayan komplet. Ada kulkas dan juga kompor portable. Bahan-bahannya ia beli online. Praktis. Biasanya belanjaannya akan ditaruh di keranjang yang digantung di pagar kosan untuk menghindari kontak langsung.

Katla juga berjanji untuk lebih sering berkomunikasi dengan Mama. Ibunya sangat cemas ketika tahu Katla terkena Covid.

Meski gejalanya termasuk ringan dan Katla bisa isolasi mandiri saat itu, Mama menelpon ibu kos dan teman kos Katla untuk membantu Katla menyediakan makanan juga kebutuhan vitamin dan obat-obatan.

Katla merasa tidak enak. Tapi ia terharu mendapati teman-teman kosannya begitu perhatian kepadanya.

Ibu kosnya juga begitu baik. Ia tak marah-marah mendapati salah satu penghuni kosannya terserang Covid. Mereka semua menghibur dan menentramkan Katla lewat makanan dan ucapan mereka yang terhalang oleh pintu dan jendela kamar.

Tapi mereka semua tak tahu ada sebuah kejadian pada masa Katla melakukan isolasi mandiri. Kejadian itu rata-rata berlangsung pada pukul dua belas malam.

Anehnya kejadian itu tak hadir lagi setelah Katla tuntas melakukan isolasi mandiri hampir tiga minggu, lebih dari waktu rata-rata isolasi 14 hari karena status Katla tak kunjung negatif saat itu.

Katla lupa dengan niatannya menelpon ibunya. Ia malah terdorong untuk membaca diary-nya pada bulan November.

- - -

2 November 2020

Kantor mengadakan tes swab seluruh karyawan. Aku terkejut dari 145 karyawan, aku salah satu dari 5 karyawan yang statusnya positif. Aku hampir nangis karena takut. Aku pun diminta melakukan isolasi mandiri sembari menunggu hasil tes PCR.

Aku kalut saat itu. Aku tak berani memberitahu Bude Kania, sebutan kami ke ibu kos. Aku juga tak berani ngomong ke teman-teman kos. Seharian aku mengurung diri dengan perasan sedih dan marah.

3 November 2020

Setelah semalam puas menangis, aku pun menelpon Mama akan kondisiku. Mama yang memberitahu Bude Kania dan Rosa, teman kos yang ibarat Bu RT di kosan ini. Mereka berdiri di depan pintu dan menunjukkan simpati mereka kepadaku lewat makanan dan ucapan. Aku jadi terharu.

Tapi aku jadi uring-uringan ketika mendapatkan hasil tes PCR. Aku memang positif. Teman-teman kantor menyarankanku ke Wisma Atlet.

Tapi teman kosan tak masalah aku isolasi mandiri, asal tak keluar kamar. Ibu menyarankanku tetap di kos karena ia telah mempercayakan diriku ke Bude Kania.

Duh aku ingin marah tapi juga sedih.

4 November 2020

Aku baru merasai demam dan kemudian indera penciumanku tumpul. Aku tak bisa merasai aroma kopi. Aku tak ingin apa-apa. Aku hanya merasa lelah.

7 November 2020

Aku malas. Badanku lemas. Aku masih uring-uringan. Anna mengeluh tak suka aku yang jadi uring-uringan seperti ini.

Ia menyarankanku untuk berjemur pagi. Buka jendela yang ke arah luar bisa jadi solusi karena kamarku paling ujung dan tak ada kamar lain yang berjendela ke arah luar seperti aku.

Aku menuruti saran Anna. Membuka jendela luar selama 30 menit setiap pagi untuk mendapatkan matahari. Lumayan. Setidaknya aku tak begitu bete.

8 November 2020

Perutku tak nyaman. Makan juga terasa tak enak. Akhirnya aku pun rebahan. Aku jadi mudah lemas. Dan kadang-kadang aku tertidur pulas, bangun-bangun sudah malam. Aku sepertinya mendengar sesuatu.

9 November 2020

Aku yakin aku mendengar sesuatu. Juga melihat sesuatu. Sekitar pukul 12 malam.

Aku ingat melihat jam saat itu dan juga ada bunyi tiang listrik dipukul 12 kali oleh Pak Satpam. Ada yang bergerak di kamar. Di dekat mejaku, seberang kasurku.

Apakah itu hantu yang seperti disebut kawan-kawan? Atau aku mulai mengalami halusinasi?

10 November 2020

Aku melihatnya. Meski aku tak yakin itu nyata atau sekadar mimpi. Aku melihatnya. Seorang pemuda. Ia duduk di kursi dan membolak-balik sesuatu.

Heiii!!! Itu buku harianku. Kurang ajar berani baca!

Aku tak peduli. Apakah ia hantu atau bukan, ia tak boleh membaca buku harianku.

Aku menghardiknya dengan keras. Ia nampak sangat terkejut. Seharusnya aku yang terkejut.

Ia mengenakan piyama dengan cardigans. Piyamanya seperti piyama rumah sakit. Matanya seperti elang. Rambutnya berombak tebal.

Ia mengerling padaku. Lalu memeyot-meyotkan wajahnya. Apa maksudnya? Apa itu upaya si hantu menakutiku?

Bukannya takut, aku malah tertawa geli. Hantu ini lucu hahaha.

Ia keheranan menatapku. Ia lalu berkata, apa aku benar-benar bisa melihatnya? Aku mengangguk.

"Kamu jenis hantu apa?" tanyaku

Ia nampak terkejut. Mungkin ia tak tahu ia sudah jadi hantu. Jangan-jangan ia arwah penasaran.

"Aku bukan hantu", jawabnya mantap

"Lalu?"

"Aku manusia!" Ia menjawab yakin

"Hanya...."

"Aku sepertinya melakukan proyeksi astral. Ya, itu benar. Raga sukma, nama lainnya!"

Aku melongo. Detik kemudian aku tertawa keras membuat ia terhenyak. Duh aku lupa bertanya apakah teman-teman kosku mendengar tertawaku.

"Kamu kayak yang di film 'Insidious' itu ya?" Tebakku

"Eh..."

"Itu lho yang anak kecil bisa melayang-layang gitu ruhnya ke luar dari tubuhnya...," jelasku

Ia menggaruk-garuk kepalanya. Matanya nampak berbinar-binar. "Sepertinya iya!"

Kami lalu mengobrol. Ia bercerita waktu kecil ia beberapa kali merasai ruhnya terbang. Seru.

Tapi ketika akil balig ia tak pernah lagi bisa mencobanya. Entah kenapa belakangan ini ia beberapa kali bisa melakukannya lagi. Apesnya perjalanannya ke sini lagi ke sini lagi.

"Kamarmu pasti ada sesuatu, yang bikin aku ke sini lagi ke sini lagi," tuduhnya.

"Enak saja! Eh bisa jadi Kamu penunggu pepohonan di luar itu. Atau mereka keluargamu?"

Kami tertawa. Aku tak ingat lagi yang kami bahas. Aku ketiduran.

17 November 2020

Sejak itu ia beberapa kali muncul tepat tengah malam. Tak setiap hari. Ia membangunkanku dengan sengaja menyetel televisi atau berpura-pura membuka buku harianku.

Aku lupa menanyakan namanya. Ia bercerita tinggal di pinggiran kota. Rumahnya belum lunas. Ia memaksa dirinya membeli rumah itu karena kasihan dengan kucing jalanan.

Sudah ada enam kucing kampung tinggal bersamanya. Kucing-kucing itu tinggal di rumah-rumahan halaman belakang rumahnya.

Ia juga bercerita tentang kebiasaannya tidur. Ia bisa tidur di mana saja jika kelelahan. Ia pernah tidur di kelas waktu SMP dan tak ada yang membangunkannya hingga ruangan kelas sudah gelap.

20 November 2020

Sejak ada pemuda itu, aku tak lagi uring-uringan. Ia memang tak setiap hari muncul. Setiap kali ia hadir, aku merasa senang.

Karena ia hanya ruh, aku tak takut dudul berdekatan dengannya. Kami bercerita apa saja. Kadang-kadang nonton film di platform streaming bareng. Sayangnya tak semua percakapan dan aktivitas kami kuingat.

Yang kuingat wajahnya yang seperti muka bantal. Juga piyamanya yang itu-itu saja. Hanya luarannya yang kadang-kadang ganti.

23 November 2020

Aku barusan tes swab dan negatif. Bersamaan dengan kesembuhanku, ruh pemuda itu tak pernah muncul lagi.

Apakah ia manifestasi penyakitku? Karena aku kesepian ada makhluk yang bermanifestasi? Entahlah.

Anna tak percaya dengan ceritaku. Katanya karena aku demam, maka aku berhalusinasi. Ia juga menggodaku untuk segera punya pacar. Ahhh ia sendiri juga masih jomblo.

Seandainya saja pemuda itu nyata, apakah kami bakal kembali berjumpa?

- - -

Katla membaca tuntas catatannya bulan November tahun lalu. Ah jam sudah menunjukkan pukul delapan lewat.

Ia bergegas mandi dan memeriksa file presentasinya. Pekerjaannya untuk merancang interface sudah selesai, tinggal nunggu masukan dari divisi bisnis.

Ia melamun setelah pertemuan daring berakhir. Sudah enam bulan. Ia ingin berjumpa dengan pemuda tersebut. Mengapa ruhnya tak muncul lagi.

Ah tidak!!! Apakah gara-gara ranting-ranting pohon mangga itu ditebang oleh Pak Kos sehingga ia tak muncul lagi.

Oh iya, ia bukan hantu kan?! Bukan hantu, kan?!

- - -

Katla terlelap setelah menyelesaikan feedback dari divisi bisnis. Ia sudah mengirimkan hasil revisi dan mereka pun sudah oke. Ah leganya. Perasaan lega itu membuatnya sadar betapa lelahnya ia selama ini.

Bunyi notifikasi pesan mengganggu tidurnya. Anna mengirim pesan ada utas menarik di Twitter yang dibagikan sebuah akun julid.

Begini dialog mereka.

Anna: Baca deh utas ini. Ceritanya bikin aku ingat ceritamu yang aneh itu!

Katla: Apaan sih?

Anna: Kamu pernah kan cerita tentang proyeksi astral itu. Nah ia cerita pernah bisa melakukan proyeksi astral. Bisa jadi teman diskusimu tuh!

Hening. Katla membaca utas si pemuda yang rupanya seorang dokter. Ceritanya tak lengkap, sepertinya ia sengaja agar netizen membaca blognya.

Katla membacanya dengan serius. Isi blog pemuda yang bekerja sebagai dokter itu menarik hatinya. Seperti diary, hanya dalam rupa blog.

Catatan yang membuatnya tertegun ketika ia membaca tulisan yang berjudul "Katla". Sebuah ulasan film serial bergenre horor yang judulnya sama dengan nama dirinya.

Paragraf awalnya membuatnya tertarik.

"Saya langsung tertarik untuk menyaksikan film serial horor berlatar di Islandia. Judulnya 'Katla'. Judulnya itu yang menarik perhatianku karena sepertinya tak asing. Nama itu pernah dekat denganku.

Ketika menyebut nama itu, di benakku muncul wajah seorang perempuan. Matanya berbinar-binar nakal. Rambutnya lurus panjang. Berponi. Ia juga punya diary"

Eh sampai paragraf ini Katla mendengus kesal. Kalimat berikutnya membahas tentang film horor itu.

Di postingan berikutnya ada cerita pemuda tersebut yang membahas soal proyeksi astral. Ia saat itu koma karena motornya tertabrak saat pulang dari shift malam.

Ia memang mengantuk dan lelah karena pasien Covid begitu banyaknya. Seharusnya ia tidur saja di RS, tapi ia ingin memeriksa kucing-kucingnya.

Ketika koma itulah ia bisa merasai proyeksi astral seperti dulu. Tak menakutkan. Malah menyenangkan. Hanya ia lupa kenapa ia menyukai masa-masa itu.

Katka melihat si pemuda membagikan foto kucing-kucingnya di laman blognya. Kucing kampungnya nampak terawat dan nakal. Mereka dirawat teman perawat ketika ia koma.

Saat Katla kembali ke akun Twitter pemuda yang ternyata bernama Renn itu, ia melihat ada cuitan baru. "Aku ingin bertemu dengan Katla"

Katla terdiam. Ia melihat foto si pemuda di profil Twitter-nya. Ia tertawa kencang.

Ia lalu mengetik sesuatu. Membalas cuitan tersebut.

"Hai pa kabar. Aku Katla"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun