"Suka Kla Project?" Pria dengan kaus bergambar vokalis band Nirvana itu menegurku. Aku menengok ke arahnya dan mengangguk ringan.
Gara-gara ibuku, aku jadi menyukai band satu ini. Ibuku langsung jatuh hati ketika mendengarkan "Yogyakarta". Hampir setiap hari lagu-lagu dari album "The Best KLa" meramaikan rumah. Dari "Tentang Kita", "Anak Dara", "Tak Bisa Ke Lain Hati", "Semoga", dan "Waktu Tersisa".
Ketika mendengarkan tembang "Waktu Tersisa" hatiku meletup. Aku bertanya ke Ibu. "Bu, mengapa mereka harus mengakhiri, bukankah mereka saling mencintai?" Ibu mengelus rambutku dan bercerita bahwa hubungan cinta itu terkadang tak mulus.
Aku yang waktu itu masih belia mengangguk-angguk, tak begitu paham dengan yang disampaikan Ibu.
...Adakah waktu tersisa,
Menjaga kita tetap sejiwa?
Ibu kemudian juga mengoleksi album "Ungu". Album ini membuatku tertegun menyelami cerita yang dibagikan oleh Katon, Lilo, dan Adi. Dari kisah patah hati "Terpuruk Ku Di Sini" dengan saxophone yang menghanyutkan. Berganti dengan kisah cinta yang menggebu dalam "Satu Kayuh Berdua".
Aku kemudian entah kenapa rasanya ingin menangis ketika menyimak "Hidup Di Seputarku".
Kasih t'lah memudar, sekejap
Sana sini seteru
Norma yang merapuh
Karena angkara
Insan saling berlomba
Memperebutkan kuasa...
Kemudian aku terkagum-kagum mendengarkan simfoni "Heidelberg '92". Hanya iringan musik. Tapi ketika mendengarnya hatiku terasa terisi penuh. Aku tak percaya ketika mendapatiku bergerak menari diiringi instrumentalia tersebut.
Apakah aku suka Kla Project? Aku mengangguk. Rasa suka ini ditularkan oleh Ibuku.
Kini aku sedang mencari album kasetnya. Album Ibuku raib entah ke mana. Ibu berpesan kepadaku untuk mencarinya agar koleksinya tetap lengkap.