Konser itu sungguh berkesan bagiku. Terasa syahdu. Bagian choir pada lagu "Tak Bisa Ke Lain Hati" membuat pikiranku menjelajahi sebuah adegan film lawas yang pernah kutonton. "Gone With The Wind".
Lalu lagu itu, "Gerimis" ditampilkan. Dengan iringan gitar dan biola. Perasaanku sama, ada nada terharu dan muram ketika mendengarnya. Sebuah kisah langsung terbesit di benakku dan kuharapkan bukan kisahku.
- - -
Aku ingin mengucapkan terima kasih kepada Re yang mengajakku menyaksikan Klakustik. Aku menghubungi nomor telepon rumahnya, tapi tak ada yang menjawab.
Re berbeda sekolah denganku. Aku hanya tahu nomor telponnya. Aku tak tahu nama lengkapnya, alamat rumahnya, termasuk alamat e-mailnya. Ia termasuk pria yang misterius. Komunikasi kami selama ini hanyalah lewat telpon dan ketika ia mengobrol di rumahku.
Beberapa kali telponku tak diangkat. Aku mulai gelisah.
Aku menentramkan diri, mungkin ia sedang tak ada di rumah.
Aku menelpon lagi seusai les piano. Lagi-lagi hanya terdengar bunyi telponku berbunyi di seberang.
Kenapa harus gelisah? Re tetaplah Re. Ia akan datang ke rumah atau menelponku kemudian.
Telpon itu tak kunjung datang. Aku merasa resah. Suasana itu pas ketika radio memutar lagu itu. "Gerimis" dengan rintik hujan dari balik jendela. Ia bukan kekasihku, tapi aku merasa begitu kehilangan.
Aku tersenyum pahit. Duapuluh tahun lebih telah lewat, kenangan itu masih berasa hangat. Mungkin aku memang naif masa itu, tapi Ra yang dulu memang menyukai Re.
Pukul delapan malam aku baru tiba di rumah. Aku tergelitik untuk mendengarkan radio dari ponsel agar rumah yang kuisi sendiri tak terlalu sunyi.