Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Cerpen | Ketika Nero Belum Kembali

1 Juni 2019   01:11 Diperbarui: 1 Juni 2019   01:31 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nero selalu menjadi kucing kesayangan, lalu ia cemburu ketika Mungil merebut perhatian (dokpri)

Matahari pagi seperti memberi siraman energi. Aku ingin berguling-guling. Atau, sekedar mengejar belalang dan kucing kecil. Tapi aku sudah bukan lagi kucing mungil. Aku sudah besar, kucing dewasa, Nero, demikian majikanku memanggil.

Menjadi kucing dewasa membuat beberapa keasyikanku menurun drastis. Dulu aku sangat ingin segera menjadi kucing besar dan menjadi pimpinan kucing di kompleks ini. Tapi kini aku merasa ingin menjadi Nero kecil lagi.

Dulu aku kucing utama. Kucing satu-satunya dan paling disayang. Majikanku hanya melihatku sebagai kucingnya. Aku kucing kesayangannya.

Aku bisa puas dielus-elusnya. Ia memanjakanku dengan ikan dan makanan enak. Ia juga tak marah aku naik ke sofa dan kasurnya.

Tapi kini aku malu untuk dimanjakannya walaupun ingin. Aku menolak digendongnya. Aku mengancam mencakarnya jika ia mengelus tubuhku atau membersihkan wajahku. Padahal aku hanya malu karena aku sudah dewasa. Tahun ini aku akan berusia lima tahun.

Bukan hanya itu. Aku iri pada kucing muda. Ia kucing betina bernama Ponoc. Karena masih kecil dan menggemaskan, majikanku suka memanggilnya si Mungil dengan pandangan gemas.

Majikanku suka mengelusnya. Ia juga suka menggendongnya. Si Mungil juga tak menolak. Ia malah suka dan memerlihatkannya.

Di rumah kini ada Ponoc (kanan) yang mencuri perhatian. Ada juga kucing liar si Kecil yang juga suka mengurangi jatah makanku, keluh Nero (dokpri)
Di rumah kini ada Ponoc (kanan) yang mencuri perhatian. Ada juga kucing liar si Kecil yang juga suka mengurangi jatah makanku, keluh Nero (dokpri)

Kehadiran Mungil memengaruhi jatah makanku. Ikan kembung kesukaanku harus dibagi dua. Ikan kemasan juga ayam goreng favoritku juga harus dibagi. Oh posisiku sebagai kucing kesayangan mulai goyah. Mungkin majikanku tak lagi menyayangiku.

Tadi sehabis sahur ia hanya memberiku nasi dan ikan kemasan. Ia tak mau repot menggorengkan ikan untukku. Ia juga tak berupaya mengelusku, meskipun aku tahu ia takut ditolak olehku.

Aku sedih. Aku ingin jadi Nero kecil lagi.
---

"Nero, Kamu kenapa?" si kucing Badut menegurku. Aku diam saja. Aku tak begitu suka dengan kucing betina kasar itu.

"Apa urusanmu bertanya? Aku hanya ingin menikmati mentari pagi," aku menjawab ketus.

"Pasti sarapanmu tidak enak ya?!" Ia mengejekku. "Di rumah gedong sedang ada pesta semalam sepertinya. Ada banyak ikan tersisa. Ayam goreng juga ada!"

Mendengar ayam goreng, telingaku terangkat. "Dimana tempatnya, Badut?" Aku penasaran. Dia menyeringai, tahu jika aku tertarik.

"Aku akan menunjukkan lokasinya padamu. Tapi aku hari ini ada acara dengan majikanku. Aku tak bisa mengantarmu," paparnya.

Aku setuju. Aku diam-diam merasa lapar dan ingin menyantap masakan lainnya. Ayam goreng sisa semalam tak apa-apalah.
---

Aku pun berangkat, berjalan di belakang Badut. Kucing Badut ini sudah tua. Usianya hampir sama dengan indukku. Tapi ia tak nampak menua. Wajahnya masih licik sama seperti ketika aku melihatnya kali pertama.

Kami berjalan hingga ujung gang. Si Badut lalu memberikan petunjuk kepadaku untuk berjalan dua blok ke depan. Lalu berbelok ke kanan, baru ke kiri. Posisi rumah gedong itu di ujung blok. Rumahnya berwarna putih.

Aku menghafal petunjuk si Badut dan menuju rumah Gedong. Meskipun hanya beberapa blok bagi seekor kucing perjalanan itu lumayan jauh. Aku hanya pernah bermain hingga dua blok saja.

Ke kanan atau ke kiri ya. Aku mengingat-ingat. Duh aku lupa. Akhirnya aku memutuskan untuk ke kiri. Di sana aku melihat beberapa ekor kucing. Mereka nampak mengerumuni sesuatu. Makanan. Aku yakin itu. Banyak makanan.

Ikan besarnya sudah kurang segar, tapi tak mengapa karena aku jenuh ikan kemasan, kata Nero (dokpri)
Ikan besarnya sudah kurang segar, tapi tak mengapa karena aku jenuh ikan kemasan, kata Nero (dokpri)

---

Dugaanku benar. Ada banyak makanan. Ada ikan dan ayam. Ikannya sudah agak kurang segar, tapi tak apalah. Ayamnya juga masih berbumbu. Tapi aku tak peduli. Aku ikut bergabung dengan mereka.

Aku mulai mengunyah. Seekor kucing hitam melirikku dan lalu bertanya. "Kamu siapa? Aku tak pernah melihatmu." Ia bertanya.

Aku menjawab. "Namaku Nero dari rumah pelangi". Aku lalu meneruskan menyantap kepala ikan, sebelum kemudian bergeser ke ayam masak opor.

Kucing hitam itu berbisik ke temannya. Temannya, seekor kucing belang gantian mengajakku berbicara. "Nero, Kamu kucing dari rumah pelangi?"

Aku membenarkannya. Ia lalu kembali berkata-kata kali ini tak enak. "Kamu bukan kucing gang ini. Kamu juga bukan kucing pengelana. Kamu tak berhak di sini!"

Aku tersinggung. Tapi aku sudah sering mendengar kata-kata ini sehingga tak terpengaruh dan tetap asyik mengunyah.

"Nero, berhenti. Itu jatah kami!" Kucing hitam kali ini lebih berani.

Aku memandang keduanya galak. "Bukankah kita para kucing itu bebas. Kita bebas berkelana. Makanan ini cukup buat kita semua, kenapa dipersoalkan?"

Kedua kucing itu tak suka dengan jawabanku. Keduanya mulai menggeram. Aku sedang tak ingin berkelahi. Kucing-kucing lainnya yang sedang tak ingin berkelahi pun menepi. Kini hanya ada aku bersama dengan dua kucing itu.

Kucing itu meneriakiku. Aku jadi takut kalau dikeroyok, cerita Nero (dokpri)
Kucing itu meneriakiku. Aku jadi takut kalau dikeroyok, cerita Nero (dokpri)

Aku mengambil ancang-ancang. Aku berhasil kabur dengan membawa kepala ikan.
---

Aku berlari kencang. Aku menemukan kebun kosong dan bersembunyi di sana. Mereka tak lagi mengejarku. Aku Nero yang cerdik dan lincah. Tenagaku masih seperti dulu.

Aku jadi lelah setelah berlarian. Aku menemukan air di sebuah kaleng. Sisa hujan semalam. Aku meminumnya lalu aku tertidur.

Aku tertidur cukup lama. Sepertinya sudah hampir petang. Waktunya majikanku pulang. Aku jadi kangen dengannya. Tunggu aku pulang dan kita berdua makan bersama.
---

Tunggu. Aku tak kenal jalan ini. Dimana ini? Aku tak pernah ke gang ini. Aku tersesat.

Aku tak ingin panik dan ini sudah malam. Lebih baik aku mencari tempat berlindung. Sebentar lagi hujan deras.
---

Nero tak kembali. Kemana kucingku itu. Sudah malam. Biasanya ia menyambutku saat pulang kerja. Oh aku jadi cemas karenanya. Apakah ia tak lapar?

Gadis itu membuka pintu rumahnya dan melongok jalan kosong di depannya. Tak ada kucing seperti Nero. Ia menghibur diri kucingnya itu akan pulang keesokan harinya. Mungkin ia asyik bermain hingga lupa pulang.
---

Matahari bersinar terang. Aku siap pulang. Nero kemudian berjalang ke ujung gang. Di sana ia menemui persimpangan. Ada jalan ke kiri dan ke kanan. Mana yang harus kuambil?

Aku mulai lapar. Aku harus mencari makanan.

Bulan Ramadan biasanya ada sisa makanan saat sahur. Tapi kali ini orang-orang mulai mudik sehingga tak banyak sampah makanan.

Aku menemukan nasi bungkus. Tak banyak lauk bersisa. Aku pun kemudian menyantap nasinya. Aku lapar.
---

Hari ini sudah mulai libur bekerja. Aku tahun ini tak kemana-mana, hanya berlebaran di Jakarta.

Si Mungil sudah kenyang dan ia tertidur di depan kipas angin. Kucing itu nampak kesepian. Biasanya pagi-pagi begini ia asyik menggodai Nero. Kemana kucingku itu?

Ponoc alias Mungil asyik tidur (dokpri)
Ponoc alias Mungil asyik tidur (dokpri)

Gadis itu kembali melihat jalanan di depannya. Ia kemudian memanggil nama kucingnya. "Nero, Nero dimana Kamu?"
Tak ada yang menjawab.

Saat sore hari dan Nero belum kembali ia pun mulai cemas. Ia menuju loteng dan melihat atap-atap rumah di sekelilingnya. Tidak ada kucing berwarna jingga.

Ia lalu membawa payung dan berjalan menyusuri gang. Langit nampak mendung tapi ia tak mau menyerah. Ia ingin menemukan kucingnya.

Pagi tadi ia sudah menyebar pesan tentang hilangnya si Nero ke grup percakapan satu RT. Tak ada yang merespon. Sebagian warga sudah kembali ke kampung halaman. Lainnya tak menyukai binatang.

Ia melihat ke kiri dan kanan lalu memanggil Nero dan pus. Ia mendengarkan seksama.

Beberapa bulan lalu si Mungil hilang. Ia lepas saat hendak dibawa ke klinik. Dua hari ia baru ditemukan. Ia bersembunyi di selokan.

Ia kuatir Nero juga mengalaminya. Nero tetap kucing meskipun ia sudah dewasa. Ia bisa mengalami kecelakaan.
---

Aku tak berhasil mencari jalan pulang. Aku lalu bertanya ke kucing-kucing yang kutemui. Aku menanyakan dimana jalan pulang ke rumah pelangi. Tak ada yang tahu.

Aku menyebutkan deskripsi majikanku. Ia berambut panjang dan serampangan. Ia suka dikelilingi kucing dan baunya sudah seperti mereka. Aku bercerita dengan penuh semangat. Sayangnya lagi-lagi mereka tak tahu.

Ini majikanku kata Nero, apakah Kalian mengenalnya? (Dokpri)
Ini majikanku kata Nero, apakah Kalian mengenalnya? (Dokpri)

Aku memutuskan untuk naik ke atap. Siapa tahu rumahku kelihatan. Aku pun memanjat pohon lalu tiba di atap rumah. Warna atap hampir semuanya sama. Oh aku melihatnya. Masjid itu. Masjid itu juga kulihat di atap rumahku. Sepertinya masjid yang sama.

Rupanya aku tersesat begitu jauh. Aku lapar dan lelah. Aku tak cukup makan dan beristirahat. Aku dicurigai karena aku kucing asing.

Aku harus terus melangkah.
---

Ini hari ketiga Nero belum kembali. Aku bertekad menemukannya.

Gerimis kembali datang. Aku mengenakan jas hujan untuk memudahkan. Aku kembali memanggil Nero.

Kemana kira-kira kucingku itu pergi? Gadis itu bertanya dan menjawabnya sendiri.

Ia mengikuti instingnya. Ia terus berjalan.

Mungkin Tuhan menjawab doanya. Ia melihat kucing yang mirip dengan Nero. Kucing jingga dengan mata jail.

Nero. Ia masih ragu. Kucing itu berhenti dan memerhatikannya. Kucing itu mengeong, seperti memastikan apakah ia majikannya. Gadis itu tersenyum. Ia mengenali suara itu. Suara sember hanya milik Nero.

Ia mendekatinya. Kucing itu masih ragu. Tapi gadis itu tak ragu. Ia mengangkatnya dan menggedongnya di balik jas hujannya.

Kucing itu meronta-ronta. Ia hendak mencakarnya. Tapi kemudian ia ingat akan aroma tubuh gadis itu. Aroma tubuh seperti kucing. Ia pasti majikanku. Nero pun menjadi tenang dan ia tak marah majikannya menggendongnya.

Perjalanan itu terasa jauh. Gadis itu lega Nero tak lagi berontak. Rumah juga mulai kelihatan.

Nero melihatnya. Itu gang menuju rumahnya. Dan itu rumahnya. Rumah yang sederhana dan hangat.

Oh di sana ada si Mungil. Ia menyambutnya. Kucing itu bertanya kemana aku pergi selama ini. Ia merindukanku.

Sebentar lagi lebaran tiba dan aku pulang. Untunglah aku bisa pulang. Aku bahagia.

Kriukkkk...oh aku lapar. Majikanku rupanya paham dan ia menuju dapur. Ia menggoreng ikan untukku. Aku jadi terharu. Syukurlah aku bisa kembali pulang.

Nero ingat waktu kecil rumah inilah yang membesarkannya. Rumah inilah tempat ia pulang (dokpri)
Nero ingat waktu kecil rumah inilah yang membesarkannya. Rumah inilah tempat ia pulang (dokpri)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun