Gadis itu kembali melihat jalanan di depannya. Ia kemudian memanggil nama kucingnya. "Nero, Nero dimana Kamu?"
Tak ada yang menjawab.
Saat sore hari dan Nero belum kembali ia pun mulai cemas. Ia menuju loteng dan melihat atap-atap rumah di sekelilingnya. Tidak ada kucing berwarna jingga.
Ia lalu membawa payung dan berjalan menyusuri gang. Langit nampak mendung tapi ia tak mau menyerah. Ia ingin menemukan kucingnya.
Pagi tadi ia sudah menyebar pesan tentang hilangnya si Nero ke grup percakapan satu RT. Tak ada yang merespon. Sebagian warga sudah kembali ke kampung halaman. Lainnya tak menyukai binatang.
Ia melihat ke kiri dan kanan lalu memanggil Nero dan pus. Ia mendengarkan seksama.
Beberapa bulan lalu si Mungil hilang. Ia lepas saat hendak dibawa ke klinik. Dua hari ia baru ditemukan. Ia bersembunyi di selokan.
Ia kuatir Nero juga mengalaminya. Nero tetap kucing meskipun ia sudah dewasa. Ia bisa mengalami kecelakaan.
---
Aku tak berhasil mencari jalan pulang. Aku lalu bertanya ke kucing-kucing yang kutemui. Aku menanyakan dimana jalan pulang ke rumah pelangi. Tak ada yang tahu.
Aku menyebutkan deskripsi majikanku. Ia berambut panjang dan serampangan. Ia suka dikelilingi kucing dan baunya sudah seperti mereka. Aku bercerita dengan penuh semangat. Sayangnya lagi-lagi mereka tak tahu.
Aku memutuskan untuk naik ke atap. Siapa tahu rumahku kelihatan. Aku pun memanjat pohon lalu tiba di atap rumah. Warna atap hampir semuanya sama. Oh aku melihatnya. Masjid itu. Masjid itu juga kulihat di atap rumahku. Sepertinya masjid yang sama.
Rupanya aku tersesat begitu jauh. Aku lapar dan lelah. Aku tak cukup makan dan beristirahat. Aku dicurigai karena aku kucing asing.