"Lusa, karena libur tahun baru sudah habis. Saya harus kerja".
"Oh, ya. Selamat. Mudahan bisa bertemu dilain waktu". Lelaki itu kemudian mengambil helm dan jaket.
"Dik, ni jaket dan helm. Kakak duluan ya. Nanti pulangnya sama kak Raka. Kan dekat".
"Iya kak, makasi. Hati-hati di jalan".
Tinggalah Raka dan Tantri berdua. Kebisuan mereka berdua masih mewarnai malam ini.
"Apa Beli masih tidak percaya". Tantri berusaha memecah kesunyian. Tiupan angina dingin semakin terasa.
"Mestinya kamu tidak cerita satu kali saja".
"Beli, coba buka hp Beli. Berapa kali Tantri nelpon Beli? Berapa kali aku chat Beli?. Apakah Beli pernah menjawab? Jangan salahkan aku saja".
Air mata Tantri menetes membasahi pipinya. Dia berusaha menyembunyikan tangisnya agar tidak meledak sebagai tanda luka yang menyayat. Tampak Raka salah tingkah. Pastinya ada perasaan malu dan bersalah karena dia tidak menghargai perempuan yang sangat mencintainya.
"Kalau Beli masih tidak terima, dengan cara apa lagi Tantri membuktikan kesetiaan. Mungkin ini sudah jalan hidup Tantri".
Raka terenyuh mendengar ucapan Tantri. Ia menyesal dan merasa bersalah. Tapi ia serba salah harus berbuat apa.