"Kau tahu perasaanku Raka? Kau tahu sakit hatiku? Sampai disitu suara Tantri terputus.
"Tantri...Tantri. Kau masih mendengar suaraku? Aku ada di pantai Mengening". Tantri tiada menjawab.
Tidak berselang dua puluh menit, terlihat dikejauhan seorang perempuan bersama lelaki memarkir sepeda motor. Lalu berjelan mendekati Raka. Cemburuku makin mendidih. Begitu sensualnya Tantri mempermainkan aku. Aku berdiri. Lelakiku tidak tahan dinistakan. Pikir Raka.
"Tantri. Apa-apaan ini? Begini caramu membuat lukaku makin berdarah. Kau perempuan tak pantas mempermainkan laki-laki"
"Beli. Hati-hati bicara !. Ya..aku perempuan. Tapi Beli tidak pantas juga menyakiti perempuan. Apalah artinya kejantanan Beli menghadapi perempuan yang lemah". Tantri tidak bisa menahan kemarahannya. Hatinya menjerit, teriring tetesan air mata di pipinya.
"Terus..laki-laki itu. Itu tandamu lemah !". Jawab Tantra kesal.
"Dengan cara apa lagi aku harus jelaskan kepada Beli. Sebulan lalu, saat Beli melihat Tantri berboncengan, sudah aku sampaikan sejujurnya, itu kakak misanku yang baru pulang dari Jakarta. Dia pingin tahu suasana di Bali. Apa kejujuranku tidak cukup?"
Mendengan ucapan Tantri sambil menahan air matanya, Raka merasa bersalah juga. Mengapa kejujuran Tantri yang telah terpelihara hampir setahun, runtuh oleh peristiwa sehari dulu. Lalu dia bergegas mendekati laki-laki yang menunggu agak jauh. Dia menyalami lelaki itu.
"Perkenalkan aku Raka. Temannya Tantri".
"Aku Bagus. Aku misannya Tantri. Aku tinggal di Jakarta". Setelah berbasa-basi sebentar.
"Maaf ya, saya mengganggu malam-malam begini. Kapan balik ke Jakarta?" Raka berusaha basa-basi, walau dihatinya terpatri rasa cemburu.