Mohon tunggu...
I Dewa Nyoman Sarjana
I Dewa Nyoman Sarjana Mohon Tunggu... Guru - profesi guru dan juga penulis.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

hobi membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Bawah Bayang Rembulan

14 Maret 2024   14:45 Diperbarui: 14 Maret 2024   15:04 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar poto pixabsy gratis

DI BAWAH BAYANG REMBULAN

Tangannya menjulur mengambil helai daun yang terjatuh dibawa angin. Lalu ia menatapnya. Terlintas dalam pikiran daun saja coraknya warna warni. Ada merah, hijau, coklat dan ada pula hitam. Mengapa aku harus terkurung dalam penyesalan?

 Bukankah hidup itu memang harus berwarna seperti daun itu? Tapi aku tidak ingin terjatuh seperti daun itu. Raka bangkit dari duduknya. Melangkah menyusuri tepian pantai Mengening. 

Desiran angin dan debur ombak yang terpecah di sela bebatuan seakan menjilati karang yang kokoh seperti melahirkan tetabuhan dan menepis kesunyian hati Raka. Biasanya Raka menghabiskan senja di pantai. Ketika mentari berwarna jingga menyusup di kaki langit, dia sudah bergegas meninggalkan pantai yang kian gelap. Kali ini Raka luluh dalam kesendirian.

Dalam sunyi malam ia percaya bintang gemintang dan cahaya rembulan terasa membuka jalan nafas kerinduan yang menindih. Setiap deburan ombak, seakan ada bayang perempuan merapat di matanya.

 Andai malam ini aku bisa bertemu, betapa bahagianya walau hanya sebentar. Ah...hasrat ini meski ku kubur. Walau sulit, tapi aku harus mampu. Sepanjang jalan menuju Pura Batu Bolong, temaram lampu pedagang tampak indah. Siluet bayang bermain di air laut. 

Pengunjung sudah memadati pinggiran pantai sambil duduk-duduk di kedai. Kerinduan seperti pasangan yang dia lihat di bawah tenda bersama Luh Tantri dulu melintas. Rasa dingin tetesan embun malam, seirama dengan dingin perasaannya. Tiba-tiba hp nya berdering. 

Lama Raka membiarkan suara itu. Ternyata dari Tantri kekasihnya. Dia terpaku, tapi pikirannya tidak tega menyakiti.

"Raka kau di mana?" Suara Tantri terdengar lemah. Raka mencoba menjawab dengan lembut.

"Mengapa kau telpon aku". Suara Raka agak ketus. Tumben hari ini dia tidak bisa menahan kekesalannya.

"Kau tahu perasaanku Raka? Kau tahu sakit hatiku? Sampai disitu suara Tantri terputus.

"Tantri...Tantri. Kau masih mendengar suaraku? Aku ada di pantai Mengening". Tantri tiada menjawab.

Tidak berselang dua puluh menit, terlihat dikejauhan seorang perempuan bersama lelaki memarkir sepeda motor. Lalu berjelan mendekati Raka. Cemburuku makin mendidih. Begitu sensualnya Tantri mempermainkan aku. Aku berdiri. Lelakiku tidak tahan dinistakan. Pikir Raka.

"Tantri. Apa-apaan ini? Begini caramu membuat lukaku makin berdarah. Kau perempuan tak pantas mempermainkan laki-laki"

"Beli. Hati-hati bicara !. Ya..aku perempuan. Tapi Beli tidak pantas juga menyakiti perempuan. Apalah artinya kejantanan Beli menghadapi perempuan yang lemah". Tantri tidak bisa menahan kemarahannya. Hatinya menjerit, teriring tetesan air mata di pipinya.

"Terus..laki-laki itu. Itu tandamu lemah !". Jawab Tantra kesal.

"Dengan cara apa lagi aku harus jelaskan kepada Beli. Sebulan lalu, saat Beli melihat Tantri berboncengan, sudah aku sampaikan sejujurnya, itu kakak misanku yang baru pulang dari Jakarta. Dia pingin tahu suasana di Bali. Apa kejujuranku tidak cukup?"

Mendengan ucapan Tantri sambil menahan air matanya, Raka merasa bersalah juga. Mengapa kejujuran Tantri yang telah terpelihara hampir setahun, runtuh oleh peristiwa sehari dulu. Lalu dia bergegas mendekati laki-laki yang menunggu agak jauh. Dia menyalami lelaki itu.

"Perkenalkan aku Raka. Temannya Tantri".

"Aku Bagus. Aku misannya Tantri. Aku tinggal di Jakarta". Setelah berbasa-basi sebentar.

"Maaf ya, saya mengganggu malam-malam begini. Kapan balik ke Jakarta?" Raka berusaha basa-basi, walau dihatinya terpatri rasa cemburu.

"Lusa, karena libur tahun baru sudah habis. Saya harus kerja".

"Oh, ya. Selamat. Mudahan bisa bertemu dilain waktu". Lelaki itu kemudian mengambil helm dan jaket.

"Dik, ni jaket dan helm. Kakak duluan ya. Nanti pulangnya sama kak Raka. Kan dekat".

"Iya kak, makasi. Hati-hati di jalan".

Tinggalah Raka dan Tantri berdua. Kebisuan mereka berdua masih mewarnai malam ini.

"Apa Beli masih tidak percaya". Tantri berusaha memecah kesunyian. Tiupan angina dingin semakin terasa.

"Mestinya kamu tidak cerita satu kali saja".

"Beli, coba buka hp Beli. Berapa kali Tantri nelpon Beli? Berapa kali aku chat Beli?. Apakah Beli pernah menjawab? Jangan salahkan aku saja".

Air mata Tantri menetes membasahi pipinya. Dia berusaha menyembunyikan tangisnya agar tidak meledak sebagai tanda luka yang menyayat. Tampak Raka salah tingkah. Pastinya ada perasaan malu dan bersalah karena dia tidak menghargai perempuan yang sangat mencintainya.

"Kalau Beli masih tidak terima, dengan cara apa lagi Tantri membuktikan kesetiaan. Mungkin ini sudah jalan hidup Tantri".

Raka terenyuh mendengar ucapan Tantri. Ia menyesal dan merasa bersalah. Tapi ia serba salah harus berbuat apa.

"Raka, antar aku pulang. Daripada aku tersiksa begini. Yang pasti aku tidak seperti perempuan yang kamu duga.

Tantri berjalan menjauh. Ia tidak peduli entah apa yang terjadi digelap malam begini. Hatinya jauh lebih gelap.

"Tantri...tunggu". Raka berlari mengejar Tantri. Raka  memeluk tantri dengan erat-erat.

"Maafkan aku Tantri. Ini semua salahku. Aku ternyata salah menilai kesetianmu". Tangannya mengusap air mata Tantri yang terus menngalir. Tantri menatap kekasihnya. Lalu merebahkan wajah di dada Raka.

Di bawah bayang rembulan, tanda cinta menemukan sinarnya. Ternyata cinta adalah ketulusan untuk menyatukan hati dengan penuh ikhlas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun