Aku mengedarkan seluruh pandangan keluar mobil. Lewat jendela yang  terbuka setengah, aku menikmati pemandangan yang memukau. Hamparan laut biru dan juga jalan yang berliku-liku. Lagu lawas yang diputar di MP3 mobil membuat aku tidak bisa tidur.
Entah kenapa MP3 mobil yang kutumpangi hari ini yang cenderung memutarkan lagu-lagu lawas. Aku tipe orang yang suka tidur dalam perjalanan. Tapi, tidak untuk siang ini.Â
Mataku terbuka lebar menikmati pemandangan yang disuguhkan kiri kanan. Â Aku sedikit bernostalgia dengan lagu yang diputar. Tanpa sadar bibirku mengikuti lirik lagu kisah kasih di sekolah.
Pemandangan di pantai barat selatan Aceh ini memang dikenal dengan laut yang indah. Aku menyesali selalu tertidur di perjalanan. Sehingga melewati pemandangan yang maha indah Tuhan ciptakan.
Aku menoleh ke kursi belakang. Semua penumpang tertidur pulas.
"Hanya aku dan sopir yang masih terjaga," pikirku.
Matahari sudah berada di atas ubun-ubun. Arloji menunjukkan jam 13:00 WIB. Sopir selalu berhenti di musala yang ada warung makan. Jadi, para penumpang bisa melaksanakan kewajiban salat dan menikmati makan siang.
Semua penumpang turun dari mobil untuk membersihkan diri, salat dan makan. Aku menghafal wajah-wajah penumpang yang hanya berjumlah tujuh orang denganku.Â
Dua laki-laki muda terlihat mereka seperti mahasiswa sepertiku yang kembali ke kota Banda untuk kuliah. Dua lagi pasangan suami istri. Satu orang lagi yang duduk tepat di belakangku sepertinya sudah berumah tangga. Sempat aku mendengar dia berbicara lewat telepon, dia berbicara dengan anak istrinya.
Satu penumpang yang terlihat kalem dan cukup tampan. Kemeja yang dikenakan tersetrika rapi. Setengah lengan panjangnya dilipat. Bajunya juga di masukkan ke dalam. Rambutnya yang lurus tersisir rapi. Jam tangan hitam  juga menghiasi lengannya yang putih.
Tidak ada barang bawaan, dia hanya mencangklong sebuah minibag di bahunya. Aku sempat mengira dia sales, atau pegawai kantoran, atau pegawai di perusahaan. Selama di perjalanan dia hanya berdiam diri di dekat jendela. Saat semuanya tertidur, aku sempat melihat dia juga terlelap di kursinya.
Kala semua penumpang menikmati makan siang. Di sebuah rumah makan paling fenomenal dengan masakan khas  Barat Selatan Aceh. Kebetulan, kali ini semua penumpang duduk di meja panjang. Sehingga semua berkumpul menikmati makanan yang diambil sendiri di depan.
Aku memilih ikan sambal dan sayur asam. Di sampingku ada yang memilih kerang lado, cumi tumis asam. Kami sesama penumpang menjadi semakin akrab. Akhirnya, sopir juga bergabung ke meja panjang yang biasa dipilih oleh rombongan keluarga.
"Adek sering berpergian sendirian?" tanya Ibu bermata sipit itu. Beliau duduk di sampingku dengan suaminya.
"Iya, Bu," sahutku sekenanya sembari memamerkan senyum terbaik.
"Tidak takut bepergian sendiri-sendiri, Dek?" dia menoleh sembilan puluh derajat kepadaku.
"Tidak, Bu. Kebetulan saya sudah langganan sama travel 'bersaudara' ini," jawabku lagi.
"Oh begitu, memangnya orang tuanya tidak khawatir anak gadis pulang pergi sendirian?" pertanyaannya membuatku merasa tidak nyaman. Aku masih terdiam.
"Apalagi adek duduk di depan dekat sopir! Sopir itu kadang-kadang nakal, Dek!" serunya tiba-tiba sambil melihat kiri-kanan.
Aku tersenyum kecut, "Tidak, Bu. Sopir di dua saudara terkenal baik-baik. Mereka tidak macam-macam sama penumpang. Saya bahkan sudah setahun ini berlangganan di travel ini.Â
Apalagi mereka selalu berhenti setiap masuk waktu salat. Obrolan mereka juga sopan-sopan!" aku sedikit membela diri dan para sopir. Memang bukan hal yang asing. Kalau sopir sering dianggap nakal dengan penumpang perempuan, apalagi anak gadis sepertiku.
"Memangnya adek kenapa pulang pergi!" tanya Perempuan yang mengenakan baju merah jambu dengan penutup kepala warna senada. Pakaiannya cukup menunjukkan seorang muslimah.
"Saya kuliah di Banda setiap Sabtu Minggu. Senin sampai Jum'at saya bekerja di Meulaboh," jelasku.
"Oh begitu, jadi kerja apa di sana?" dia semakin bersemangat menanyakan tentangku.
"Di hotel, Bu!" sahutku lagi. Aku yakin setelah mendengar jawabanku. Perempuan berhijab lebar ini semakin negatif berpikir tentangku. Karena bukan sekali dua. Orang-orang menunjukkan langsung pikiran negatifnya terhadap pekerjaanku sebagai karyawan hotel.
"Memangnya orang tua kerja apa? Kok adek mau kerja di hotel segala?" tanya dia lagi dengan wajah khawatir.
"Orang tua saya pegawai negeri, Bu. Saya hanya ingin mandiri!" Â sahutku.
"Ya ampun, Dek. Kalau Ibu, tidak akan membiarkan anak gadis sepertimu kerja di hotel!" serunya lagi tanpa memikirkan perasaanku yang sebenarnya sudah sangat tersinggung.
"Memangnya kenapa, Bu. Kalau kerja di hotel. Saya tidak merasa hal-hal yang aneh di sana. Kami di sana tidak memakan riba, juga tidak menerima tamu-tamu yang bukan pasangan suami istri," sahutku sedikit detail.
"Iya, maksud ibu bukan begitu. Karena, melayani tamu yang entah berantah dari mana. Seperti adek 'kan perempuan kerja sampai tengah malam. Gimana ya kurang baik!" sahut dia lagi. Dia berusaha keras untuk menyudutkan pekerjaanku.
"Maaf, Bu. Di hotel tempat saya kerja atau di beberapa penginapan lain perempuan hanya bekerja di shif siang. Sedangkan shif malam itu lelaki. Lagian bekerja di hotel bukan melayani tamu tidur, pekerja di hotel hanya melayani untuk tamu tidur. Hotel itu menyediakan fasilitas untuk menginap." Aku ingin sekali menjelaskan lebih detail. Agar jangan menganggap kerja di hotel seperti bekerja di klub malam di kota metropolitan sana.
Dia menatapku lekat, entah dia mencari api  kemarahan yang ingin kutumpahkan. Tapi, aku masih pandai memoles wajah bahwa aku tidak apa-apa. Karena, sudah terbiasa seperti ini. Disudutkan dengan pekerjaanku. Padahal aku cukup tahu, bagaimana tempat kerjaku.
 Owner dan pemilik hotel yang cukup terkenal di kota yang diapit oleh laut ini. Beliau menegaskan semua karyawan harus menjaga salat, tidak boleh membawa teman laki-laki ke hotel, memakai pakaian yang sopan. Bahkan kami tidak dibenarkan memakai baju yang ketat, celana jeans dan membuka kepala.
Ah, sudahlah. Aku tidak perlu menjelaskan kepada mereka bahwa pekerjaanku baik-baik saja. Aku dibayar sesuai dengan pekerjaanku. Aku juga sangat terjaga selama menjadi karyawan di sana. Aku masih membalas tatapan Ibu Wati. Aku mengetahui namanya yang kebetulan ada di bros terpampang di jilbabnya.
Tanpa ada lagi pertanyaan, Bu Wati bangkit menuju kasir untuk membayar makanannya dan suami. Aku dan beberapa penumpang lain juga melakukan yang sama.
**
Aku memperhatikan penampilan Bu Wati yang sopan dan anggun. Sebelumnya, aku tidak terpikir sosok perempuan berkerudung lebar ini akan menyinggung perasaanku. Apalagi aku belum pernah bertemu dengannya. Juga nampak gaya yang berwibawa. Ah, sangat banyak kutemukan orang seperti ini di bumi Serambi Mekah ini.Â
Tapi, sayang. Mereka tidak bisa menjaga citra sebagai muslimah sejati. Mereka cenderung mudah berprasangka buruk kepada orang lain juga pekerjaan orang lain.Â
Memang benar bahwa penampilan tidak selamanya menjadi tolak ukur orang baik. Tapi, aku juga tidak menyalahkan penampilannya. Setidaknya, mereka sudah berusaha menjaga auratnya sebagai perintah Tuhan.
Perjalanan kami dilanjutkan, sopir memastikan semua naik ke dalam mobil. Saat aku berjalan menuju mobil lelaki necis tadi yang paling tampan diantara lelaki di mobil yang kutumpangi ikut serta ke dalam mobil. Aku tidak lengah memperhatikannya, karena posisi dia yang tidak jauh. Â Aku seperti tidak melihat dia membayarnya ke kasir.
"Apa dia lupa membayar makanannya?" pikirku sendiri.
Saat semua bangkit dari tempat duduk menuju meja kasir. Aku melihat dia masih menghabiskan makanannya. Saat aku membalikkan badan dari kasir, aku melihat dia sudah beranjak menuju mobil. Apa dia membayar waktu aku asyik berbicara dengan Bu Wati. Tapi, tidak juga. Dia bahkan seperti menyimak obrolan kami.
Sopir sudah melajukan mobilnya. Sesekali, aku menoleh ke belakang memperhatikan lelaki necis itu. Jika melihat sekilas dari penampilan dan wajahnya dia bukan tipe lelaki macam-macam. Tapi, aku kembali mengingat kapan dia membayar nasinya tadi.
**
Mobil l300 dari travel bersaudara memasuki kota Banda. Konon, di kota ini Islam pernah jaya. Â Banyak bukti sejarah yang bisa menguatkan pernyataan ini. Sayup-sayup suara ngaji mulai terdengar dari masjid-masjid, pertanda waktu ashar segera tiba. Sopir mulai mengantar penumpang satu persatu.
Aku sudah bertekad untuk salat ashar di kos. Karena waktu ashar yang panjang. Aku tidak mengkhawatirkan waktu salat. Karena, biasanya sopir selalu mengantar tepat waktu.
Yang pertama diantar adalah laki-laki yang kutaksir sudah memiliki dua anak itu. Ternyata benar, sopir langsung mengantarnya ke depan pintu rumah. Kedua anaknya menyambut kedatangan sang Ayah. Kemudian, sopir hendak mengantar Bu Wati dan suami. Mereka baru saja pulang kampung. Sebelum sampai ke kediaman Bu Wati. Lelaki necis tadi memberhentikan sopir tepat di depan pasar.
"Bang, saya di sini saja!" pintanya. Sopir segera turun, seperti biasa mengambil barang penumpang sekalian mengambil ongkos. Aku dan beberapa penumpang lain duduk manis di dalam mobil. Aku berpikir tidak akan lama, karena memang laki-laki itu tidak ada barang apa-apa.
Bu Wati berkali-kali mendongak ke belakang lewat jendela mobil. Dia gelisah ingin segera sampai ke rumah. Akupun akhirnya melakukan hal sama seperti Bu Wati. Karena sudah hampir sepuluh menit. Aku mendapatkan bang sopir berdiri di belakang mobil. Dia menatap jauh ke lorong pasar yang di depannya. Pasar itu tidak begitu ramai, hanya kedai-kedai kecil. Sepertinya tidak ada pedagang yang menginap  di sana.
Beberapa menit kemudian, sopir masuk ke dalam mobil. Aku mendapatkan wajah kesal di sorot matanya.
"Orang tadi nggak bayar ongkosnya, Bang?" tanya salah satu mahasiswa yang duduk di belakang kursi Bu Wati.
"Enggak, saya sudah yakin dia nggak akan balik!" sahut sopir sekenanya.
"Adik ganteng tadi nggak bayar?" tanya Bu Wati.
"Iya, Kak. Sudah biasa seperti ini," sahutnya lagi.
"Saya dari sejak tadi sudah memperhatikan gerak-geriknya. Dia nggak bayar nasi juga tadi di warung!" seru suami Bu Wati.
Deg. Rupanya bukan aku saja yang memperhatikannya. Aku hanya mendengar tanpa ikut nyambung.
"Ya ampun ganteng-ganteng penipu!" sahut Bu Wati lagi.
"Saya, Kak. Pernah lebih ganteng dari dia yang nipu saja. Pernah perempuan cantik dan terlihat kalem banget. Jilbabnya besar, seperti jilbab kakak pakai. Tapi, dia menipu saya dengan cara yang cukup cerdik," sopir itu bercerita dengan santai. Aku yakin dia tidak sedang berbohong.
"Kadang, Kak. Saya ini berpikir, orang-orang sekarang tidak bisa kita nilai dari penampilannya. Â Karena, banyak orang-orang licik berselimut di balik kerudung besar, gamis lebar dan sorban di kepala." Sang sopir seperti sedang menumpahkan uneg-unegnya.
Semuanya terdiam, sopir ini memang nampak santai dengan jeans dan kaos biasa. Tapi, sudah berkali-kali aku naik mobilnya. Dia selalu menjaga salat. Dan akhlaknya sangat santun.
"Yang kita sayang apa. Orang-orang yang benar-benar baik, menjaga diri, menjaga kewajiban, menjaga akhlak. Justru rusak citranya gara-gara satu dua orang yang biadap seperti barusan!" serunya barusan.
Aku terdiam, yang lain pun terdiam. Ikut merasakan kekecewaan yang dihadapi oleh bang sopir. Karena bagaimanapun, dia harus membayar storan ke travel, isi bensin, makan dan kebutuhan lain.
"Tega sekali lelaki itu! Semoga murah rezeki abang sopir ini!" lirihku dalam hati.
Pukul 16:45 WiB aku tiba di kos. Setelah menurunkan barang. Lalu membayar ongkos. Aku lebihkan dua puluh ribu. Sehingga ongkosnya genap seratus ribu.
"Terimakasih, Dek. Semoga murah rezeki dan tetap menjadi pribadi baik!" seru abang sopir lalu naik ke dalam mobil. Aku menatap kepergian lekat hingga hilang di ujung gang.
Hari ini, adalah hari yang berbeda dari hari kemarin. Dengan pengalaman yang cukup besar aku dapatkan. Tidak selamanya yang bagus penampilannya itu baik. Tapi, tidak semua yang berpenampilan rapi dan bagus itu tidak baik. Ya, itulah kesimpulan yang aku dapatkan dari perjalananku selama empat jam.
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H