Mobil l300 dari travel bersaudara memasuki kota Banda. Konon, di kota ini Islam pernah jaya. Â Banyak bukti sejarah yang bisa menguatkan pernyataan ini. Sayup-sayup suara ngaji mulai terdengar dari masjid-masjid, pertanda waktu ashar segera tiba. Sopir mulai mengantar penumpang satu persatu.
Aku sudah bertekad untuk salat ashar di kos. Karena waktu ashar yang panjang. Aku tidak mengkhawatirkan waktu salat. Karena, biasanya sopir selalu mengantar tepat waktu.
Yang pertama diantar adalah laki-laki yang kutaksir sudah memiliki dua anak itu. Ternyata benar, sopir langsung mengantarnya ke depan pintu rumah. Kedua anaknya menyambut kedatangan sang Ayah. Kemudian, sopir hendak mengantar Bu Wati dan suami. Mereka baru saja pulang kampung. Sebelum sampai ke kediaman Bu Wati. Lelaki necis tadi memberhentikan sopir tepat di depan pasar.
"Bang, saya di sini saja!" pintanya. Sopir segera turun, seperti biasa mengambil barang penumpang sekalian mengambil ongkos. Aku dan beberapa penumpang lain duduk manis di dalam mobil. Aku berpikir tidak akan lama, karena memang laki-laki itu tidak ada barang apa-apa.
Bu Wati berkali-kali mendongak ke belakang lewat jendela mobil. Dia gelisah ingin segera sampai ke rumah. Akupun akhirnya melakukan hal sama seperti Bu Wati. Karena sudah hampir sepuluh menit. Aku mendapatkan bang sopir berdiri di belakang mobil. Dia menatap jauh ke lorong pasar yang di depannya. Pasar itu tidak begitu ramai, hanya kedai-kedai kecil. Sepertinya tidak ada pedagang yang menginap  di sana.
Beberapa menit kemudian, sopir masuk ke dalam mobil. Aku mendapatkan wajah kesal di sorot matanya.
"Orang tadi nggak bayar ongkosnya, Bang?" tanya salah satu mahasiswa yang duduk di belakang kursi Bu Wati.
"Enggak, saya sudah yakin dia nggak akan balik!" sahut sopir sekenanya.
"Adik ganteng tadi nggak bayar?" tanya Bu Wati.
"Iya, Kak. Sudah biasa seperti ini," sahutnya lagi.
"Saya dari sejak tadi sudah memperhatikan gerak-geriknya. Dia nggak bayar nasi juga tadi di warung!" seru suami Bu Wati.