Deg. Rupanya bukan aku saja yang memperhatikannya. Aku hanya mendengar tanpa ikut nyambung.
"Ya ampun ganteng-ganteng penipu!" sahut Bu Wati lagi.
"Saya, Kak. Pernah lebih ganteng dari dia yang nipu saja. Pernah perempuan cantik dan terlihat kalem banget. Jilbabnya besar, seperti jilbab kakak pakai. Tapi, dia menipu saya dengan cara yang cukup cerdik," sopir itu bercerita dengan santai. Aku yakin dia tidak sedang berbohong.
"Kadang, Kak. Saya ini berpikir, orang-orang sekarang tidak bisa kita nilai dari penampilannya. Â Karena, banyak orang-orang licik berselimut di balik kerudung besar, gamis lebar dan sorban di kepala." Sang sopir seperti sedang menumpahkan uneg-unegnya.
Semuanya terdiam, sopir ini memang nampak santai dengan jeans dan kaos biasa. Tapi, sudah berkali-kali aku naik mobilnya. Dia selalu menjaga salat. Dan akhlaknya sangat santun.
"Yang kita sayang apa. Orang-orang yang benar-benar baik, menjaga diri, menjaga kewajiban, menjaga akhlak. Justru rusak citranya gara-gara satu dua orang yang biadap seperti barusan!" serunya barusan.
Aku terdiam, yang lain pun terdiam. Ikut merasakan kekecewaan yang dihadapi oleh bang sopir. Karena bagaimanapun, dia harus membayar storan ke travel, isi bensin, makan dan kebutuhan lain.
"Tega sekali lelaki itu! Semoga murah rezeki abang sopir ini!" lirihku dalam hati.
Pukul 16:45 WiB aku tiba di kos. Setelah menurunkan barang. Lalu membayar ongkos. Aku lebihkan dua puluh ribu. Sehingga ongkosnya genap seratus ribu.
"Terimakasih, Dek. Semoga murah rezeki dan tetap menjadi pribadi baik!" seru abang sopir lalu naik ke dalam mobil. Aku menatap kepergian lekat hingga hilang di ujung gang.
Hari ini, adalah hari yang berbeda dari hari kemarin. Dengan pengalaman yang cukup besar aku dapatkan. Tidak selamanya yang bagus penampilannya itu baik. Tapi, tidak semua yang berpenampilan rapi dan bagus itu tidak baik. Ya, itulah kesimpulan yang aku dapatkan dari perjalananku selama empat jam.