Mohon tunggu...
Destyan
Destyan Mohon Tunggu... Wartawan -

Individu yang 'banting stir' dan kemudian dihadapkan pada fakta bahwa stir tersebut ternyata 'patah'. Lantas berimprovisasi dengan pedoman "As long as the wheels still moving forward, then it still count as a go..." Bisa dilacak keberadaannya di http://bit.ly/1mTP9I5

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pelajaran Sejarah bagi Para HRD (I)

12 Februari 2016   20:55 Diperbarui: 13 Februari 2016   08:37 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kompasiana - Data BPS 2015 mencatat angka pengangguran terbuka di Indonesia sebesar 7,56 juta jiwa. Tahun depan, jumlahnya mungkin bertambah dan nyaris menyamai jumlah korban tentara Soviet dalam Perang Dunia ke II.

Menarik untuk mencari arti dari jumlah angka tersebut. Apakah ‘predikat’ yang disandang dari para pengangguran tersebut?

Apakah mereka merupakan daftar ranking orang-orang terbodoh di republik ini sehingga tak layak bekerja? Jejeran orang apes yang tak bernasib baik? Atau sekedar korban situasi?

Entahlah, yang jelas kabarnya status pengangguran ini banyak menutup pintu jodoh dari sang calon mertua.

Selanjutnya, tanpa harus lewat data BPS, aneka job fair di Ibu Kota ini selalu penuh dijejali alas kaki para pencari kerja.

Di sisi lain, para wakil-wakil perusahaan sibuk menampilkan citra positif perusahaannya. Mereka gencar menawarkan kesempatan karier dan impian masa depan. Biduk perusahaan bertemu dengan gelombang air bah para pencari kerja.

Interview singkat pun dilakukan. CV menumpuk, mengingatkan kita pada pabrik daur ulang di ujung Kerawang.

Rekrutmen

Rekrutmen bukan barang baru dalam sejarah peradaban dunia. Literatur kuno banyak menerangkan aktvitas para administratur negara dalam mencari individu berbakat. Pola rekrutmen kuno kini diadopsi oleh dunia modern.

Berbicara sejarah, mungkin berakhir dengan tiga output, yaitu “yang Dikenal, Tak terkenal, dan Terlupakan.”

Dikenal ketika banyak diangkat kembali sebagai tauladan. Tak terkenal karena tak merubah apapun. Terlupakan, karena tuntutan jaman.

Masih dalam suasana pasca Imlek, ada baiknya kita menilik kembali kisah 'lama' namun tak lekang oleh waktu yang datang dari negeri Tiongkok berikut, yaitu San Guo (Three Kingdoms). Makin menarik, kisah tersebut dapat ditarik intisarinya dari sisi human resource.

Three Kingdoms

Di dalam kisah (Three Kingdoms), dapat kita temui romantika Tiga Negara yang terdiri dari Wei, Wu dan Shu. Wei dipimpin oleh Cao-cao, Wu dipimpin oleh Sun Quan, serta Shu yang dipimpin oleh Liu Bei.

Singkat kata, ada satu pertanyaan yang tidak dapat memuaskan Cao-cao sebagai penguasa Wei.

Mengapa begitu banyak orang hebat yang lebih memilih berada di belakang Liu Bei, lawan politiknya yang kerap dijadikan lelucon orang gagal oleh Cao sendiri ketika ia tengah memotivasi bawahannya.

Jika diibaratkan jaman modern, maka kekaisaran Wei yang dipimpin Cao-cao ibarat sebuah perusahaan berskala multinasional yang telah berkembang pesat.

Sebaliknya, kekaisaran Shu dibawah pimpinan Liu Bei merupakan gambaran perusahaan yang terancam kolaps dimana posisinya tergusur dan kalah dalam persaingan bisnis.

Namun jika  boleh meminjam istilah industri, para orang hebat di belakang Liu Bei tak terlihat berniat melakukan ‘turnover’, atau membelot berbalik arah kepada Cao-cao demi gemilangnya capaian pribadi.

Alih-alih berpikir untuk melakoni turnover, para jenderal hebat tersebut lebih memilih untuk turut kolaps sampai titik darah penghabisan di bawah bendera Shu.

Lima jenderal legendaris, yaitu Guan Yu, Zhang Fei, Zhao Yun, Ma Chao dan Huang Zong, secara loyal memilih mati di bawah panji Shu.

Sebuah tindakan yang mungkin terkesan bodoh dalam benak para pengejar karier saat ini.

Namun sebaliknya, Luo Guozhang (sang penulis hikayat  Three Kingdoms) menulisnya sebagai bentuk loyalitas dari para individu-individu berkualitas. Pasalnya,  di sisi lain, mereka dapat saja memperoleh segalanya pada pemimpin yang berbeda.

Kembali ke awal. Sepanjang karier Cao cao yang brilian, ternyata ada satu hal yang tak pernah bisa dilakukannya, yaitu menciptakan loyalitas yang teruji oleh waktu (test of time).

Cao Mengde  menyaksikan sendiri loyalitas salah satu Jenderal Liu Bei, Guan Yu, yang menolak segala tawaran fasilitas jika dirinya mau bergabung dengan Cao.

Sang legenda, Guan Yu, pada akhirnya memilih pergi untuk kembali kepada Liu Bei. Perjalanan itu lantas terkenal dengan aksinya dimana turut menghabisi lima pendekar yang berusaha merintangi jalannya sebelum bersatu kembali di bawah panji Shu.

Sumber-sumber tauladan kerap dicatat dengan tinta emas, dan kini kerap dikenang kembali pada dunia modern.

Apa yang menciptakan orang-orang berkualitas kala itu mampu loyal, walaupun tak ada tes psikologi modern seperti saat ini?

Jawabannya mungkin bisa ditelisik dari membandingkan kedua negara tersebut, Shu dan Wei.

Tipikal sebuah perusahaan besar, Cao-cao menerapkan disiplin modern pada para bawahannya. Ketakutan atas peraturan yang kuat mendominasi pola hubungan struktural di dalam lingkungan Wei.

Cao tak segan untuk memberikan reward atas kinerja para jenderal yang mampu memuaskan dirinya.

Ia menerima dengan tangan terbuka individu-individu hebat yang bersedia bekerja untuk dirinya, namun sebaliknya tak segan pula untuk menghukum yang merugikannya.

SP3 pada saat itu  diterjemahkan sebagai pemutusan hubungan kerja yang berujung pada kematian dengan eksekusi hukuman pancung.

Para bawahan direkrut atas dasar konsistensi kesuksesan yang ditunjukkan, dan kemudian dijaga di bawah bayang-bayang hukuman berat.

Sedangkan di negara Shu, Liu Bei memberikan kesempatan kepada orang-orang yang kelak mengabdi kepadanya.

Ia pandai melihat potensi individu dan mengalahkan keraguan atas catatan kelam masa lalu dari individu-individu yang ada di hadapannya.

Sejarah mencatat bagaimana awal mula trio Liu Bei, Guan Yu, dan Zhang Fei berikrar menjadi sebuah saudara.

Liu menerima dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengabdi kepadanya, terlepas dari latar belakang orang-orang yang datang hendak mengabdi pada dirinya.

Guan Yu, seorang  pelarian dengan catatan kriminal yang dikejar karena membunuh seorang pejabat lokal, sedangkan Zhang Fei yang berlatar belakang bandit seumur hidupnya dengan tabiat kasar dan sulit diatur.

Liu mampu menempatkan dirinya sebagai ‘agent of change’ lewat sosok kearifan seorang pemberi perintah dan keputusan.

Liu percaya pada satu hal yang bakal merubah prestasi dan loyalitas seseorang, yaitu kesempatan yang diberikan. Sebaliknya, Guan Yu dan Zhang Fei, merupakan individu yang tahu benar memanfaatkan kesempatan  yang diberikan kepada mereka.

Diantara persaingan kedua negara, sejarah menceritakan jika Cao cao lebih sukses meraih kejayaan dengan gaya kepemimpinannya.

Dibandingkan Liu Bei dan Sun Quan, wilayahnya merupakan yang terluas dan didukung  pencapaian sumber daya dan hasil melimpah.

At the end

At the end? Cao-cao pada akhirnya tak sukses menikmati akhir dari kerja kerasnya dalam menyatukan wilayah Dinasti Han yang tercerai berai.

Ambisinya yang diwariskan pada sang putra penerusnya pun harus berakhir karena pengkhianatan. Tragisnya, pengkhianat justru lahir dari keturunan penasihat pribadinya, yang selama ini menunjukkan prestasi baik dan merupakan andalan Cao.

Sebaliknya bagi Liu Bei, pengikutnya teruji setia hingga akhir hayatnya. Loyalitas tersebut bahkan berlanjut setelah Liu Bei wafat dan digantikan oleh puteranya yang sangat tak cakap.

Dikatakan, para pengikut Liu Bei tetap melayani sang putera mahkota hingga keruntuhan Shu Han.

Zaman berganti, kesuksesan Shu mungkin baru diakui saat ini berabad-abad setelahnya. Negara Shu menjadi tauladan melalui kisah-kisah kepahlawanan dan pengabdian dari berbagai individu yang tergabung di dalamnya.

Kisahnya menginspirasi ribuan umat manusia modern dalam bentuk dongeng kebijaksanaan, hingga strategi bisnis.

Khusus Guan Yu yang dahulu berlatar belakang buronan di masa mudanya, sosoknya kini bersanding sejajar bersama Sang Buddha, Konfusius, dan Taoi bagi masyarakat Tiongkok. Pemujanya tersebar di Tiongkok daratan, Hong Kong, Makau, hingga Tiongkok Taipei (Taiwan).

Human Resource

Kembali ke realitas saat ini dan menjawab pertanyaan di awal paragraf. Sekelumit hikayat di atas hendaknya mampu memberikan insight dalam dunia Human Resource moderen.

Ketika ‘cara aman’, statistik dan kurva normal dikesampingkan untuk menilai suatu individu, bukan tak mungkin dapat ditemukan kembali reinkarnasi sosok hebat dari Guan Yu, Zhang Fei, dan Zhuge Liang.

Sebaliknya, mengesampingkan hal itu bukan tak mungkin justru menyerahkannya mereka untuk berkembang pesat bersama kompetitor.

Mungkin timbul pertanyaan. Bagaimana cara berspekulasi mengetahui individu yang menguntungkan untuk organisasi..?

Jawaban para pengangguran itu mungkin sederhana sekali. Ya itulah 'nilai plus' dari ilmu Human Resource.

“Kalau gak bisa.. Lantas apa yang membedakan ilmu HR dengan ilmu lainnya?”

“Belajarlah sampai ke negeri Tiongkok”, pepatah kuno itu mungkin perlahan dilupakan.

Namun, jika Tiongkok terlalu ‘jauh’ jaraknya untuk pantas dijadikan contoh, maka sejarah Indonesia pun punya kisah Adipati Karna.

Atau mungkin, Anda sama sekali tak pernah tahu kisah Adipati Karna…? Wah! Celaka…! :-)  

---

destyan@gmail.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun