Mohon tunggu...
Dessy Amalya
Dessy Amalya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

a writer who loves imagining and creating a story

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Peron

18 Juni 2012   08:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:50 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah selama seminggu ini aku tidak pernah melihatnya lagi di peron. Kemana dirinya? Kemana lelaki itu? Apa dia sudah muak dengan sikapku yang selama hampir sebulan ini selalu mencoba mendekatinya? Selalu mencoba mencari perhatiannya? Apa sikapku selama ini salah terhadap dirinya?

Tapi... tapi, aku benar-benar ingin bisa mengenalnya, bisa dekat dengannya, bisa... bisa bersama dirinya. Apakah itu sebuah harapan yang konyol dan sia-sia? Entahlah, aku tidak tahu.

Waktuku di Singapura hanya tinggal tiga hari lagi, apa mungkin bisa selama tiga hari terakhir ini aku berkencan dengannya? Semoga saja Tuhan mengabulkan.

Kulirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Pukul 22.00 dan peron MRT China Town sudah mulai sepi. Tepat di sebelah kananku seorang lelaki paruh baya itu sedang mengutak-atik ponselnya. Tepat di sebelah kiriku, seorang wanita memangku anaknya yang sedang tertidur. Dan aku sendiri-di sini, hanya diam tidak melakukan apa-apa.

Kosong.

Aku merindukan Ray, aku ingin melihatnya lagi, aku ingin bisa berbicara dengannya lagi. Walaupun dirinya begitu sangat dingin, tapi aku tetap menyukai dirinya. Aku benar-benar ingin terus bersamanya selama kurang lebih tiga hari terakhir aku di Singapura.

Aku menundukkan kepala dan menutupi wajah dengan kedua tanganku. Sekali lagi, aku benar-benar ingin melihatnya lagi!

"Hey!"

Kurasakan bahuku diremas lembut oleh seseorang dari belakang. Aku menengadah dan mendapati....

Mataku membelalak demi melihat siapa yang sekarang sedang kulihat. Ray! Dia... dia ada di sini! Di hadapanku!

"Kenapa melamun seperti itu, Amanda?"

Oh... my... God! Dia bertanya padaku? Dia bertanya padaku! Selama ini, Ray tidak pernah mengubris ucapanku dan sikapnya selalu dingin padaku! Ini-sebuah-keajaiban-Tuhan!

"Amanda?"

Aku terlonjak. "Ah?" Kudapati Ray sudah duduk tepat di sebelahku. Dan... ia menyunggingkan senyum padaku!

"Apa kau baik-baik saja?"

"Ah? Ya! Ya, a... aku baik-baik saja," jawabku gagap. Ini benar-benar sulit sekali dipercaya dan sangat di luar dugaanku!

"Kenapa kau belum pulang?" tanyanya lagi.

Aku menghela napas dalam-dalam dan lalu menghembuskan perlahan lewat mulut. Setidaknya pikiranku jauh sedikit lebih tenang. "Aku... aku menunggumu, Ray."

Kedua alis Ray bertaut. "Aku?"

Aku mengangguk. "Ya, sudah seminggu aku tidak pernah melihatmu di sini, dan itu membuatku sangat... sangat... rindu padamu."

Ray menarik senyum lagi di bibirnya. Senyumnya begitu sangat hangat dan bersahabat. "Benarkah begitu? Kau merindukanku?"

Aku mengangguk lagi. "Sangat, Ray!" aku menekankan. Aku diam sejenak sebelum melanjutkan ucapanku. "Aku di Singapura hanya tinggal tiga hari lagi, hari Minggu nanti aku harus kembali ke Jakarta... dan... kalau boleh, selama tiga hari itu aku ingin terus bisa bersamamu, Ray."

Seketika hening menghampiri kami. Aku benci akan keheningan yang seperti ini. Tapi, seketika juga keheningan itu menghilang saat aku merasakan kedua tangannya meremas lembut kedua tanganku, dan kudapati matanya menatap mataku dalam... lembut dan hangat. Ia menarik senyum. "Tentu saja, dengan senang hati kau boleh menghabiskan sisa waktumu di sini bersamaku, Amanda."

Aku mengerjap tak yakin dengan apa yang baru saja kudengar. "Benarkah?" tanyaku untuk lebih meyakinkan.

Ray mengangguk. "Ya."

---

Tuhan benar-benar mengabulkan doaku. Selama tiga hari ini aku bisa merasa sangat bahagia karena bisa terus bersama dirinya. Sikapnya tidak lagi seperti dulu yang selalu saja dingin, dan acuh tak acuh, kini ia berbeda. Ray jadi banyak bertanya, dan terus mencari topik untuk dibicarakan. Beberapa kali ia menggenggam tangaku, melingkarkan tangannya di bahuku dan mengecup ringan keningku. Benar-benar seperti sepasang kekasih.

"Amanda, aku benar-benar minta maaf karena aku tidak bisa mengantarmu ke bandara nanti, karena ada urusan mendadak dari kantor," ujar Ray, suaranya terdengar parau.

"Kantor? Tapi ini hari Minggu, Ray."

"Entahlah, tiba-tiba saja ada klien yang minta bertemu hari ini. Memangnya pesawat take off jam berapa?" tanyanya di sebrang sana.

"Jam delapan."

"Delapan? Um... sepertinya aku sudah selesai meeting, nanti aku akan menyusulmu langsung di bandara saja, bagaimana? I promise. Kau tidak keberatan kan kalau aku menyusul?"

"Menyusul?" aku diam sejenak dan lalu melanjutkan, "Baiklah."

"Well, see you, Amanda."

Klik.

Sambungan pun terputus. Aku menghempaskan tubuhku ke atas sofa. Well... menyusul...? Tidak apalah, setidaknya aku masih bisa bertemu dengannya lagi untuk yang terakhir kalinya.

---

Sudah hampir jam setengah delapan, tapi Ray belum juga menunjukkan batang hidungnya. Apakah ia tidak akan datang? Tapi ia sudah berjanji untuk datang menyusulku. Aku semakin gelisah. Entah sudah berapa kali mataku terus melirik jam tangan, mungkin sudah ratusan kali karena aku terlalu gelisah.

Seorang wanita berdiri tepat di hadapanku, tangan kanannya dia angkat sejajar dengan wajahku, dan ada sebuah foto di sana. Matanya semakin menyipit, ia begitu memerhatikanku dengan seksama dan juga sebuah foto di tangannya.

"Ah! Akhirnya aku menemukanmu! Kau... Amanda, bukan?" tanyanya dengan penuh semangat.

Keningku mengernyit. "Ya, memangnya ada apa?" tanyaku heran.

"Apa kau temannya, Ray?" tanyanya lagi, dan kini nada pertanyaannya seketika berubah drastis, jadi nada penuh rasa bersalah.

Aku mengangguk lalu menjawab, "Ya."

Wanita itu menghela napas berat, aku bisa merasakan hembusan napasnya itu. Lalu, ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Amplop putih. Ia menyodorkannya padaku dengan penuh keengganan.

"Apa ini?" tanyaku penasaran.

"Buka dan kau baca saja sendiri apa yang ada di dalam itu," katanya parau.

Ada sebuah perasaan yang tidak dapat kumengerti menghampiri hati dan otakku. Perlahan kubuka amplop itu. Sebuah kertas di dalamnya, aku pun langsung mengeluarkannya. Kubuka perlahan-sebuah surat.

Kubaca setiap baris dengan penuh seksama, hingga akhirnya mataku dipertemukan oleh sebuah baris yang membuat dadaku semakin terasa sesak oleh kata-katanya. Membuat tanganku bergemetar. Membuat tubuhku lemas. Membuatku tak kuasa menahan butiran air yang telah tertampung di kantung mata. Begitu sesak-sulit membuatku untuk dapat bernapas. Tenggorokanku tercekat kuat-sulit untuk berkata-kata.

Wanita yang berdiri di hadapanku kini langsung memelukku. Kurasakan sesuatu menetes di atas bahuku, dan itu air matanya.

Dan... kini butiran air di kantung mataku berhasil keluar.

---

Kupandangi sebuah foto yang kini ada di genggaman tanganku. Sekelebat memori tentang dirinya melintas di pikiranku. Saat aku pertama bertemu dengannya. Saat berkenalan dengannya. Saat aku mencoba mengajaknya berbicara. Saat aku mencoba mencari perhatiannya. Saat aku mencoba terus mendekatinya. Saat... saat di mana akhirnya aku bisa menghabiskan waktuku berdua bersama dengan dirinya selama tiga hari. Memori itu terus mengalun di pikiranku.

Dan... kini, sudah tidak ada lagi senyumnya. Yang terisa dan yang ada hanyalah sebuah kenangan-kenangan indah yang tak akan pernah mungkin dapat dilupakan.

Dear, lovely Amanda...
Mungkin saat kau membaca surat ini, aku sudah tidak akan ada lagi di dunia nan indah ini. Tapi biarpun begitu, janganlah menangis, Amanda. Aku tidak ingin melihatmu bersedih. Aku tidak ingin melihatmu menangis karena aku, Amanda.
Sebenarnya, saat seminggu itu aku tidak menampakkan diri karena aku sedang di-opname di Ellizabeth Hospital. Dan juga sebenarnya hari ini aku berada di rumah sakit, bukan untuk bertemu dengan klien.
Hmm... Pernahkah aku berkata jujur tentang perasaanku yang sebenarnya padamu, Amanda? Ah, sepertinya belum, mengingat sikapku yang selalu dingin padamu, pasti aku belum pernah memberitahumu.
Well... honsetly, I'm deeply in love with you, Amanda. Sejak pertemuan pertama kita di peron saat itu, sejujurnya aku sudah menaruh perasaan padamu. Tapi, saat mengingat penyakitku yang membuat hidupku tak akan lama lagi, membuatku tak berdaya dan selalu bersikap dingin padamu. Dan, aku sangat menyesali perbuatanku itu.
Tapi, akhirnya, aku bisa juga bersamamu, menghabiskan waktu bersama... yah, walau hanya tiga hari, tapi aku tetap menikmatinya. Saat bersamamu waktu itu, aku bisa menjadi diriku sendiri dan tidak berpura-pura. Aku tidak akan pernah melupakan kenangan itu, kenangan di mana saat kita berdua, bersama-sama.
Terima kasih, Amanda, kau sudah memberiku kenangan indah yang tak akan pernah mungkin dapat dilupakan begitu saja.
Satu hal yang kuminta dari dirimu, janganlah menangis, Amanda. Tetaplah tersenyum.

Thanks again for had given me a beautiful memories.

Rayhan.

Aku terkekeh. "Bodoh! Bagaimana mungkin bisa aku tidak menangis, Ray?"


rewrite from my blog: http://dessyaiueo.blogspot.com/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun