Seketika hening menghampiri kami. Aku benci akan keheningan yang seperti ini. Tapi, seketika juga keheningan itu menghilang saat aku merasakan kedua tangannya meremas lembut kedua tanganku, dan kudapati matanya menatap mataku dalam... lembut dan hangat. Ia menarik senyum. "Tentu saja, dengan senang hati kau boleh menghabiskan sisa waktumu di sini bersamaku, Amanda."
Aku mengerjap tak yakin dengan apa yang baru saja kudengar. "Benarkah?" tanyaku untuk lebih meyakinkan.
Ray mengangguk. "Ya."
---
Tuhan benar-benar mengabulkan doaku. Selama tiga hari ini aku bisa merasa sangat bahagia karena bisa terus bersama dirinya. Sikapnya tidak lagi seperti dulu yang selalu saja dingin, dan acuh tak acuh, kini ia berbeda. Ray jadi banyak bertanya, dan terus mencari topik untuk dibicarakan. Beberapa kali ia menggenggam tangaku, melingkarkan tangannya di bahuku dan mengecup ringan keningku. Benar-benar seperti sepasang kekasih.
"Amanda, aku benar-benar minta maaf karena aku tidak bisa mengantarmu ke bandara nanti, karena ada urusan mendadak dari kantor," ujar Ray, suaranya terdengar parau.
"Kantor? Tapi ini hari Minggu, Ray."
"Entahlah, tiba-tiba saja ada klien yang minta bertemu hari ini. Memangnya pesawat take off jam berapa?" tanyanya di sebrang sana.
"Jam delapan."
"Delapan? Um... sepertinya aku sudah selesai meeting, nanti aku akan menyusulmu langsung di bandara saja, bagaimana? I promise. Kau tidak keberatan kan kalau aku menyusul?"
"Menyusul?" aku diam sejenak dan lalu melanjutkan, "Baiklah."