Sudah selama seminggu ini aku tidak pernah melihatnya lagi di peron. Kemana dirinya? Kemana lelaki itu? Apa dia sudah muak dengan sikapku yang selama hampir sebulan ini selalu mencoba mendekatinya? Selalu mencoba mencari perhatiannya? Apa sikapku selama ini salah terhadap dirinya?
Tapi... tapi, aku benar-benar ingin bisa mengenalnya, bisa dekat dengannya, bisa... bisa bersama dirinya. Apakah itu sebuah harapan yang konyol dan sia-sia? Entahlah, aku tidak tahu.
Waktuku di Singapura hanya tinggal tiga hari lagi, apa mungkin bisa selama tiga hari terakhir ini aku berkencan dengannya? Semoga saja Tuhan mengabulkan.
Kulirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Pukul 22.00 dan peron MRT China Town sudah mulai sepi. Tepat di sebelah kananku seorang lelaki paruh baya itu sedang mengutak-atik ponselnya. Tepat di sebelah kiriku, seorang wanita memangku anaknya yang sedang tertidur. Dan aku sendiri-di sini, hanya diam tidak melakukan apa-apa.
Kosong.
Aku merindukan Ray, aku ingin melihatnya lagi, aku ingin bisa berbicara dengannya lagi. Walaupun dirinya begitu sangat dingin, tapi aku tetap menyukai dirinya. Aku benar-benar ingin terus bersamanya selama kurang lebih tiga hari terakhir aku di Singapura.
Aku menundukkan kepala dan menutupi wajah dengan kedua tanganku. Sekali lagi, aku benar-benar ingin melihatnya lagi!
"Hey!"
Kurasakan bahuku diremas lembut oleh seseorang dari belakang. Aku menengadah dan mendapati....
Mataku membelalak demi melihat siapa yang sekarang sedang kulihat. Ray! Dia... dia ada di sini! Di hadapanku!
"Kenapa melamun seperti itu, Amanda?"