"Dulu ada seorang pria yang kerap membeli setangkai mawar putih di tempat ini. Aku pernah mengikutinya. Ia duduk di sebuah bangku dan menunggu. Tak lama kemudian, Eleonora menghampiri sambil mendaratkan kecup pada bibirnya. Keduanya beradu cumbu dan aku berlalu."
Yang aku tahu, rindu memang begitu. Kecup bisa mendarat di mana saja. Dan tak ada yang bisa mencegahnya.
Setelah melilitkan syal pada lehernya, terajutlah kembali kisah Eleonora. "Pria itu mulai jarang mengunjungi kiosku, sampai Eleonora menemuiku. Ia bertanya ini itu. Segala hal yang kutahu tentang kekasihnya, ia kuras. Sejak saat itu, Eleonora kerap memesan mawar putih. Pernah kutanya, untuk apa? Dengan senyum ia katakan, untuk membawanya kembali padaku."
Wanita yang wajahnya telah penuh keriput itu sedikit terbatuk, aku membantunya mengambil minum. Tak lagi kupinta mengumbar kisah lebih lama. Kuputuskan untuk pergi, agar ia lekas melepas lelah.
"Dan dia mengandung."
Langkahku terhenti.
"Pria itu meninggalkannya. Dengan perutnya yang semakin besar, Eleonora kerap datang ke tempat ini untuk menunggu. Sampai bayi perempuannya lahir, ia masih memesan mawar putih padaku. Ia menyuruhku meletakkannya di atas meja."
Aku hampir tak percaya, lebih tepatnya tak mau percaya.
"Kalian sudah selesai berbincang?"
Perempuan itu berdiri di depan pintu. Kenakan gaun berwarna putih. Bibirnya sedikit pucat. Binar matanya secantik purnama.
"Terima kasih untuk bunganya."