Sudah dua jam perempuan berambut hitam sebahu duduk di sana. Berkali-kali ia membuka secarik kertas lalu melipatnya bersama air mata yang berjatuhan seperti hujan, pudarkan setiap rasa yang tertuang di sana. Kemudian ia menatap rembulan dengan matanya yang basah. Basah oleh ribuan kisah pilu. Entah siapa yang ia tunggu di bangku itu.
Dia cantik. Hatiku berkata begitu. Terlebih ketika sinar rembulan menyiram batang hidungnya, seperti perbukitan, dan mataku tergelincir di sana menikmati parasnya yang jelita. Kemudian aku akan mengecup pipinya yang basah, menyesapnya hingga pilu yang dilahirkan dari matanya mengering. Aku ingin sekali berada di sana, di bangku itu sembari memeluknya, membiarkan dirinya mengurai resah pada bahuku.
Perempuan itu seolah mengajak waktu beradu, siapa lebih cepat berlalu, dirinya dari bangku itu atau kenangan masa lalu. Entah mengapa aku menjadi cemburu. Cemburu pada laki-laki yang ia rindui di masa lalu. Laki-laki yang menggerogoti batinnya.
Ia beranjak. Dengan gontai sembari menyeka air matanya, ia merangkul malam, mengajaknya pulang. Aku mengikutinya, mengumpulkan aroma tubuhnya yang tercecer di jalanan. Wangi, seperti kuncup melati.
***
Ini malam kedua sejak mataku tergoda parasnya. Aku masih menunggu, sedari senja hingga langit menebar gulita. Ia belum jua tiba di sana, di bangku itu. Bangku tempat ia cumbui rindu, bangku di mana aku mendadak cemburu.
"Kau terlihat resah. Apa kau sedang menunggu?"
"O, tidak. Hanya ingin menghabiskan waktu di sini."
"Dengan membiarkan kopi buatanku dingin?"
Pria paruh baya itu tertawa, keriput di kedua ujung bibirnya terangkat. Ia berhenti merapikan bangku-bangku kayu, duduk semeja denganku. Matanya menyelidik dan ia mendapatiku tengah berbohong.
"Namanya Eleonora, ia kerap datang untuk menunggu di bangku itu. Pernah aku memberinya kopi, kupikir bisa menyembuhkan sesak dalam dadanya. Rupanya tidak. Kopiku hanya menjadi teman tunggu. Aku mengambil kembali kopiku yang dingin, seperti hatinya kala itu. Kemudian aku mengabaikannya, membiarkannya dimakan sendiri, sampai kau menunggunya malam ini." Pria paruh baya yang duduk di depanku mulai mengangkat cangkir yang belum sempat kusentuh, mungkin karena aku terlalu sibuk menunggu. "Kau bisa menemuinya di kios bunga di ujung jalan. Kudengar, ia kerap membeli setangkai mawar putih di sana. Entah untuk siapa."
Aku bergegas. Tak lagi kurasa dingin malam yang semula menusuk tulang. Aku menjadi terlalu berharap pada perjumpaan yang tak pasti kudapat.
Kuberdiri tepat di ujung jalan, berhadapan dengan kios bunga dengan gembok tergantung pada gagang pintunya. Seseorang memarkir sepedanya, meletakkan setangkai mawar putih di atas meja.
"Maaf, Anda pemilik kios ini?"
Wanita tua itu menatapku, ada sedikit rasa takut pada kedua matanya.
"Saya hanya ingin tahu siapa pembeli bunga ini."
Ia menarik napas dalam-dalam kemudian membuangnya perlahan bersama rasa takut yang sempat berkecamuk dalam dadanya. Ia merogoh sakunya, mengambil kunci lalu membuka gembok. "Masuklah. Ada banyak hal yang perlu kau ketahui tentang perempuan itu."
Wangi bunga menguar dari balik pintu. Aku jadi ingat ibu. Dulu ibu suka menanam bunga di halaman, jika aku lupa menyiramnya, ibu akan mengomel seharian. Siramlah, bila bunga itu mati, maka mati pulalah ayahmu, gertak ibu. Sampai saat itu tiba, karena terlalu asyik bermain, aku lupa menyiramnya. Satu bunga mati, lalu telepon berdering. Ibu pingsan seketika, mendengar nyawa ayah tak tertolong selepas mobilnya tergelincir ke jurang.
"Konon katanya, wangi bunga bisa membawa seseorang kembali ke masa lalu. Semakin dalam kau menghirupnya, semakin dalam pula kenangan itu akan menarikmu."
Wanita itu benar. Hatiku menjadi tak karuan.
"Mawar putih itu yang memelihara kenangannya. Eleonora tak pernah bisa melupakan kekasihnya."
"Kekasihnya?" tanyaku.
"Dulu ada seorang pria yang kerap membeli setangkai mawar putih di tempat ini. Aku pernah mengikutinya. Ia duduk di sebuah bangku dan menunggu. Tak lama kemudian, Eleonora menghampiri sambil mendaratkan kecup pada bibirnya. Keduanya beradu cumbu dan aku berlalu."
Yang aku tahu, rindu memang begitu. Kecup bisa mendarat di mana saja. Dan tak ada yang bisa mencegahnya.
Setelah melilitkan syal pada lehernya, terajutlah kembali kisah Eleonora. "Pria itu mulai jarang mengunjungi kiosku, sampai Eleonora menemuiku. Ia bertanya ini itu. Segala hal yang kutahu tentang kekasihnya, ia kuras. Sejak saat itu, Eleonora kerap memesan mawar putih. Pernah kutanya, untuk apa? Dengan senyum ia katakan, untuk membawanya kembali padaku."
Wanita yang wajahnya telah penuh keriput itu sedikit terbatuk, aku membantunya mengambil minum. Tak lagi kupinta mengumbar kisah lebih lama. Kuputuskan untuk pergi, agar ia lekas melepas lelah.
"Dan dia mengandung."
Langkahku terhenti.
"Pria itu meninggalkannya. Dengan perutnya yang semakin besar, Eleonora kerap datang ke tempat ini untuk menunggu. Sampai bayi perempuannya lahir, ia masih memesan mawar putih padaku. Ia menyuruhku meletakkannya di atas meja."
Aku hampir tak percaya, lebih tepatnya tak mau percaya.
"Kalian sudah selesai berbincang?"
Perempuan itu berdiri di depan pintu. Kenakan gaun berwarna putih. Bibirnya sedikit pucat. Binar matanya secantik purnama.
"Terima kasih untuk bunganya."
Eleonora berlalu, tanpa menatapku.
"Aku akan mengejarnya," ucapku pada wanita yang telah berbagi kisah.
"Kejarlah, asal jangan jatuh hati padanya."
Aku tak lagi peduli dengan serentetan kisah yang baru saja kudengar. Aku hanya ingin menebus rindu dengan bertemu. Eleonora, perempuan yang sedari tadi kutunggu. Kini ada di depan mataku.
Eleonora berbisik pada celah-celah kelopak mawar putih yang dipegangnya. Sesekali tersenyum, pamerkan giginya yang gingsul. Jemarinya lentik, ingin aku menggenggamnya, mengecupnya satu per satu.
"Kau mengikutiku?"
Ia berbalik. Ia menatapku.
"Hanya ingin memastikan kau pulang dengan selamat."
"Kau mengkhawatirkanku?"
"Aku peduli padamu."
"Sebatas itu?"
"Apa aku berhak untuk lebih dari itu?"
Ia mendekat, mengecup bibirku.
"Kau masih butuh jawaban?"
Ia benar-benar membuatku mati kutu.
"Aku benci kata-kata, setiap lariknya penuh hianat. Kata-kata pulalah yang membuatku terus menunggu, meski kutahu kata-kata berdusta."
"Kau masih memeluk kenang tentangnya?"
"Akan segera kuakhiri."
Dan aku telah memiliki kekasih. Rembulan tahu bagaimana kami saling memeluk. Bintang pun mengintip dalam kerlip saat aku menghapus lara pada setiap jengkal tubuhnya.
***
Sudah dua jam perempuan berambut hitam sebahu duduk di sana. Berkali-kali ia membuka secarik kertas lalu melipatnya bersama tawa yang sedari tadi keluar dari mulutnya. Kemudian ia menatap rembulan dengan matanya yang congkak. Entah siapa yang duduk bersamanya di bangku itu.
"Nak, Ayahmu sudah pulang."
Eleonora memeluk boneka merah muda dengan tangannya yang bersimbah darah.
-oOo-
cerpen ini kami buat untuk mencumbui rindu
salam,
DesoL, Lilik, Putri
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI