“Dan Mbok Surti masih terus menunggu?”
“Mbok Surti tak mau menerima kenyataan bahwa anaknya sudah meninggal. Baginya Ramadan masih hidup hingga detik ini.”
“Ramadan?”
“Anaknya. Mbok Surti kerap menceritakan masa kecil anaknya, juga kapan dilahirkan, yaitu pada bulan Suci. Maka dari itu dinamainya Ramadan.”
Kini aku mengerti mengapa Mbok Surti tak pernah lelah menunggu. Ia setia pada rindunya untuk bertemu anaknya, meskipun sesungguhnya rindu itu tak akan pernah tertebus. Aku tak bisa menyalahkan Mbok Surti atas kekerasan kepalanya, sebab rasa kasihnya lebih besar sehingga menolak berita kematian anaknya.
“Kau kembalilah ke panti. Biar aku yang mengantar Mbok Surti pulang.”
Perempuan itu mengangguk lalu pamit meninggalkan kami.
Aku kembali mendekati Mbok Surti, duduk di sampingnya. Kami bersama-sama mengawasi kendaraan lalu-lalang. Bersama-sama memperhatikan pemudik naik-turun badan bus. Bersama-sama mengerti makna Ramadan yang sesungguhnya.
“Mbok, berhentilah menunggu.”
“Bukan urusanmu.”
“Dia tak akan pernah datang.”