“Apanya?”
“Jiwanya, lah.”
“Sehat, hanya sering kumat setiap bulan Ramadan.”
“Seperti sedang menunggu dua Minggu ini?”
“Sampai lebaran nanti. Begitu juga dengan tahun-tahun sebelumnya.”
“Kau mengenalnya?”
“Pengurus panti yang menceritakannya padaku. Dulu aku juga penasaran sepertimu. Janggal rasanya melihat Mbok Surti terus menunggu di bawah pohon itu, seperti sedang mengawasi warungku. Akhirnya kuputuskan untuk membuntutinya pulang. Rupanya ia tinggal di panti jompo di ujung gang depan.”
“Di mana keluarganya?”
“Jika terus bercerita, aku akan rugi. Kau mau tak digaji?”
Aku mengalah. Sarmin benar, warung ini menjual kopi, bukan cerita. Kubiarkan tanya-tanya itu mengembang seperti adonan yang diragi di dalam kepalaku. Tentang apa yang Mbok Surti tunggu. Tentang bagaimana kisahnya sampai ia berjodoh dengan panti itu. Tentang siapa keluarganya. Juga keinginannya jelang Ramadan nanti.
Lewat senja, di sela-sela permintaan kopi yang tak pernah sepi, aku melihat seseorang mendekati Mbok Surti. Perempuan berkerudung hitam menarik tangannya, Mbok Surti menolak. Mereka terlibat percakapan yang sepertinya serius. Mbok Surti berteriak-teriak. Perempuan itu memilih mundur, menyandarkan tubuhnya di pintu toko yang baru saja tutup.