“Siapa kau?”
“Sigit, Mbok. Buruh cuci Kang Sarmin, pemilik warung depan.”
“Mau apa kau?”
“Hanya memberi gorengan dan kopi.”
“Aku tak butuh semua itu.”
“Mungkin aku bisa carikan yang lain, Mbok? Nasi goreng?”
“Aku butuh Ramadan!”
“Tapi, Mbok…” belum tuntas jawab, perempuan itu menarik tanganku, memintaku sedikit menjauh dari Mbok Surti.
“Mbok Surti memang keras kepala. Kami pengurus panti harus lebih sabar menghadapinya di bulan Ramadan ini.”
Perempuan itu terlihat sedikit kesal. Sementara aku terus mengamati wajahnya. Jelitanya tak berkurang dengan kerudung hitam itu. Ah, aku tak boleh jatuh cinta. Calon istriku sedang menunggu di kampung.
“Sudah lama tinggal di panti?”