“Cobalah!”
Bimo –pemilik tubuh tambun– mendekati Ben, “Kau pemimpin kelompok ini bukan? Kita harus pulang sekarang!”
Laki-laki berjaket coklat memasukkan sebuah kitab kuno ke dalam ransel kemudian menatap kawan tambunnya. “Kau benar Bim, kita memang harus pulang, tapi setelah permainan ini selesai…hahahaha!”
“Kalian semua gila! Kalian akan mati!”
Yang bertumbuh tambun, memilih untuk pergi. Bimo menyerahkan sisa tenaganya pada kedua kakinya. Pikirnya, asal masih bisa berlari maka ia akan selamat.
“Pulanglah, Bim! Dan temukan puting ibumu! Hahahaha!” sahut Mei.
***
Boneka bambu berkepala batok kelapa tak bergerak. Masih tetap sama seperti pertama kali tertanam di dalam tanah. Puja puji atas roh-roh terlantun. Satu per satu muda mudi terpatung. Bermandi sinar purnama. Membisu.
Udara hutan mengalir semakin dingin, menusuk pori-pori gadis berwajah oriental. Ada tangis yang tertahan pada sudut matanya. Ada teriak yang terhenti di kerongkongannya. Seperti mimpi, namun nyata adanya.
Tak sesuai dengan apa yang terencana. Tak ada tawa yang lunasi harapnya. Tak ada arwah yang guncangkan boneka bambu berkepala batok kelapa buatannya. Kini, tatapan teman-temannya terasa mematikan.
“Ben, apa yang terjadi? Tubuh mereka membeku, mirip patung.”