Tubuhnya merangkak di antara rumput-rumput kering. Tangannya meraih batang bambu, memukul-mukulkannya di atas kepalanya sendiri. Dari pelipis kanannya, keluar darah segar. Mukanya merah sebelah. Hujan kemudian turun, mengguyur tubuh renta yang tergeletak di tengah hutan.
Sekumpulan anjing berlari dari utara, mendekati tubuh renta itu. Induk dan beberapa ekor anaknya menjilati wajah keriput yang merah sebelah. Air liur para anjing memaksanya membuka mata. Manusia renta mengambil sebatang bambu kemudian melemparkannya ke arah anjing-anjing.
“Pergi kalian dari sini! Dasar anjing!”
Anjing-anjing itu telah berhasil membuatnya marah, sama seperti lima anak muda yang mendatangi gubuknya semalam.
Selesai menumbuk beberapa kuntum bunga juga daun-daun, manusia renta itu menuangkan air dari kendi. Diaduknya beberapa saat, sebelum dicampur dengan irisan daun sirih. Ia mengoleskan ramuan itu ke atas tubuh yang terbaring lemah di sampingnya. Ramuan manusia renta itu membuat jemari kakinya bergerak-gerak.
Tok. Tok. Tok.
Pintu kayu gubuknya terketuk. Manusia renta meraih tongkat. Matanya menerobos celah-celah dinding beranyaman bambu. Dilihatnya lima pemuda berdiri menanti dirinya membuka pintu.
“Mau apa kalian mendatangi rumahku!”
“Tolong kembalikan teman kami.”
“Temanmu yang mana? Teman kalian sudah mati!”
“Kami tahu, kau menyembunyikannya di dalam sana.”
“Sudah kubilang, teman kalian sudah mati! Kalian sendiri yang telah membunuhnya!”
***
Di bawah sinar purnama, di tengah hutan, sekelompok anak muda mengeluarkan boneka bambu berkepala batok kelapa. Salah satu di antara mereka, yang berambut kribo, bertubuh tambun, terlihat mengais tanah. Sedangkan yang berkulit putih, bermata sipit, berambut hitam panjang tergerai, menancapkan boneka bambu berkepala batok kelapa ke dalam tanah.
Pemuda tambun memperhatikan sekeliling. Nyalinya meninggalkan kencing di celana. Sejak kecil, ia terlalu banyak meminum cerita horor dari neneknya, tak heran jika gelap membuatnya takut setengah mati.
“Mei, aku ingin pulang.”
“Kau memang penakut!”
“Ini bukan persoalan tentang takut atau tidak, Mei. Perbuatan kita ini seperti menantang maut.”
“Pulang dan menyusulah pada ibumu!”
“Mei, aku tidak ingin menjadi berdosa karena hal ini.”
“Siapa yang menyuruhmu berbua dosa? Kita hanya bermain-main di sini!”
“Aku akan mengajak mereka untuk pulang!”
“Cobalah!”
Bimo –pemilik tubuh tambun– mendekati Ben, “Kau pemimpin kelompok ini bukan? Kita harus pulang sekarang!”
Laki-laki berjaket coklat memasukkan sebuah kitab kuno ke dalam ransel kemudian menatap kawan tambunnya. “Kau benar Bim, kita memang harus pulang, tapi setelah permainan ini selesai…hahahaha!”
“Kalian semua gila! Kalian akan mati!”
Yang bertumbuh tambun, memilih untuk pergi. Bimo menyerahkan sisa tenaganya pada kedua kakinya. Pikirnya, asal masih bisa berlari maka ia akan selamat.
“Pulanglah, Bim! Dan temukan puting ibumu! Hahahaha!” sahut Mei.
***
Boneka bambu berkepala batok kelapa tak bergerak. Masih tetap sama seperti pertama kali tertanam di dalam tanah. Puja puji atas roh-roh terlantun. Satu per satu muda mudi terpatung. Bermandi sinar purnama. Membisu.
Udara hutan mengalir semakin dingin, menusuk pori-pori gadis berwajah oriental. Ada tangis yang tertahan pada sudut matanya. Ada teriak yang terhenti di kerongkongannya. Seperti mimpi, namun nyata adanya.
Tak sesuai dengan apa yang terencana. Tak ada tawa yang lunasi harapnya. Tak ada arwah yang guncangkan boneka bambu berkepala batok kelapa buatannya. Kini, tatapan teman-temannya terasa mematikan.
“Ben, apa yang terjadi? Tubuh mereka membeku, mirip patung.”
“Aku tak lagi peduli pada mereka.”
“Apa maksudmu?”
Laki-laki berjaket coklat meraih tubuh Mei, memaksakan cumbu atas tubuh gadis berwajah oriental itu. Birahinya menjadi tak terkendali. Seperti kuda yang terlepas dari kandangnya. Brutal.
Cuih!
Mei meludahi kekasihnya.
“O, jadi ini tanda cintamu padaku, Mei?”
“Kau bukan Ben yang kukenal. Kau tak pantas untuk dicintai!”
“Dan perempuan sepertimu tak pantas untuk hidup!”
Mata laki-laki berjaket coklat memerah. Tangannya mencakar-cakar tanah. Berteriak. Melolong seperti serigala hutan. Jemarinya memegang erat-erat leher Mei. Mencekik. Lidah Mei terjulur, napasnya tersengal-sengal.
“Hentikan!”
Seketika leher Mei terbebas dari jemari Ben.
“Siapa kau!”
“Aku pemilik gadis itu!”
“Hei, nenek tua! Akulah kekasihnya!”
Ben melayangkan tinjunya. Tubuh renta itu rebah. Laki-laki yang gagal puaskan hasratnya, berlari meninggalkan keduanya.
***
Salah satu dari lima pemuda, memaksa masuk. Manusia renta terdorong. Perutnya terbentur meja kayu. Beberapa ramuan tumpah, menimbulkan bau menyengat, seperti bau darah. Anyir.
“Kalian telah menyakitiku.”
“Itu lebih baik dari pada menculik seorang gadis.”
“Perbuatanmu lebih menjijikkan.”
“Aku bisa melaporkanmu pada polisi.”
“Andai kemarin aku tidak menyelamatkan kalian, pastilah kalian sudah mati!”
Mei ditemukan terbaring di atas ranjang bambu, berselimut kain coklat tua. Tubuh gadis itu membiru. Jemari kakinya bergerak-gerak. Ben menggendongnya, membawa tubuh berlumur ramuan, pergi dari gubuk manusia renta.
“Temanmu sudah mati! Yang kau bawa adalah anakku!”
“Hentikan ocehanmu itu, nenek tua!”
“Jika kalian keluar dari tempat ini, binasalah!”
Ben tidak peduli. Kakinya terus melangkah memasuki hutan. Pikirnya, ia bisa kembali bermain-main dengan perempuan yang digendongnya itu. Perempuan yang selama ini telah menjadi kekasihnya, juga yang menolak cumbunya di malam bulan purnama.
Diletakkannya tubuh berbalut kain coklat tua itu di bawah pohon. Ben kemudian sibuk menggaruk. Tubuhnya menjadi gatal sejak meninggalkan gubuk manusia renta. Ia mendapati semut dan beberapa ekor belatung pada lengannya.
“Jay, tolong ambilkan bedak gatal pada ranselku!”
Tak ada jawaban.
“Jay!”
Masih sama.
Ben membalikkan badannya. Tak ada siapa-siapa. Tak ada teman-teman yang seharusnya mengikutinya. “Ah, teman-teman sialan!”
Diulurkan kedua tangannya pada pinggang Mei. Hendak digendongnya perempuan itu.
“Tidak mungkin! Ini tidak mungkin!”
Ben terkesiap.
Sekujur tubuh perempuan itu dipenuhi semut dan belatung. Wajahnya penuh lobang, tempat kawanan kalajengking bersarang. Kulitnya mengelupas, keluarkan bau busuk. Tiba-tiba bibir perempuan yang pernah dicumbunya itu menyunggingkan senyum.
“Kau benar-benar sudah mati, Mei…Kau sudah mati!”
Laki-laki itu berlari, menghindari mati.
“Hanya dia yang bisa melalukan maut dariku.”
Ben kembali mencari manusia renta. Harapnya ada di sana. Namun sia-sia. Gubuk itu tak akan pernah ia dapati kembali.
Dalam larinya, ia terjatuh. Kakinya terantuk. Batok kelapa melayang-layang di depannya. Tertawa-tawa. Diambilnya bongkahan batu. Dilemparkannya ke arah batok kelapa.
Boneka bambu berkepala batok kelapa semakin mendekat, memukul-mukul kepala Ben. Laki-laki itu merangkak dengan luka pada kepalanya. Dilihatnya beberapa boneka bambu melayang-layang. Ben menelan ludah. Boneka-boneka bambu itu berkepala teman-temannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H