“Jika tak datang?”
“Kaubisa berteduh di bawah kedua mataku, sebab hujan akan mendatanginya.”
“Nona manis sepertimu tak pantas menangis.”
“Jika aku merindukanmu?”
Kauterdiam. Apa aku salah merindukanmu? Kaumembuka kancing atas bajumu, melepaskan sebuah kalung dengan sekeping koin kuno, lalu memakainya pada leherku. Tubuhmu bau keringat.
“Ini adalah keping keberuntunganku. Simpanlah, sebab aku akan mengambilnya kembali.”
***
Aku kembali bertemu malam dengan hujan yang mugkin takkan datang.
Kautahu? Aku sudah bersiap dengan gaun merah muda buatan ibu di depan pintu. Ibu belum sempat memotongnya di bagian paling ujung, sehingga dua kali aku terjungkal, yang pertama adalah ketika hendak keluar kamar dan kedua ketika menuruni dua anak tangga. Gaunku terlindas roda kursi yang membawa tubuhku kemana-mana.
Kautahu? Aku masih menunggumu di sini, di depan pintu, tempat di mana kaumenatapku untuk pertama kali. Kata ibu, aku sudah sangat cantik dan kaupasti menyukaiku nanti.
Kautahu? Ibu melarangku untuk menangis pada pukul dua belas malam. Aku tidak akan menangis. Aku hanya ingin bertanya, kemana kau? Apa kautakmau menemui gadis cacat sepertiku? Apa kautak suka melihatku duduk di kursi roda? Apa kaumenyesal telah bertemu denganku?